BAB I
PENDAHULUAN
Pada
hakikatnya pembicaraan tentang kapitalisme dan pendidikan tidak
terlepas dari pembicaraan mengenai kehidupan masyarakat yang terkena
dampak globalisasi lebih khusus tentang globalisasi ekonomi. Sehingga
nama faham dalam dunia perekonomian yang dianut negara barat yakni
Amerika dan sebagian besar Eropa kini telah mengglobal di seluruh
negara-negara dunia baik di Asia, Afrika maupun Australia khususnya
bagi negara-negara berkembang yang sangat didominasi oleh negara maju.
Menggali
ingatan tentang globalisasi, bahwa globalisasi sebagai proses
pengglobalan (mendunia) ditandai dengan beberapa hal, yaitu: pertama, globalisasi terkait erat dengan kemajuan dan inovasi teknologi, arus informasi atas komunikasi yang lintas bangsa dan negara. Kedua, globalisasi tidak dapat dilepaskan dari akumulasi capital, semakin tingginya intensitas arus investasi, keuangan , dan perdagangan global. Ketiga,
globalisasi berkaitan dengan semakin tingginya intensitas perpindahan
manusia, pertukaran budaya, nilai dan ide yang lintas batas Negara. Keempat, globalisasi
ditandai dengan semakin meningkatnya tingkat keterkaitan dan
ketergantungan tidak hanya antarbangsa namun juga antarmasyarakat.[1]
Maka munculnya kapitalisme yang berdampak pada pendidikan adalah akibat
dari globalisasi yang terkait dengan bentuk yang kedua atau globalisasi
sebagai akumulasi capital walapun ketiganya memiliki pengaruh
yang berkaitan. Maka pembahasan perkembangan kapitalime dan pengarunhnya
di seluruh aspek kehidupan manusia termasuk pendidikan bisa tidak bisa
dilepaskan dari pembahasan globalisasi itu sendiri.
Dalam
realitanya kapitalisme yang mengglobalisasi memiliki pengaruh buruk
terhadap proses pendidikan khusunya di Indonesia. Permasalahan yang
ditimbulkan oleh kapitalisme terhadap pendidikan di Indonesia merupakan
permasalahan yang kompleks karena telah menjalar pada
kebijakan-kebijakan pendidikan yang diambil pemerintah. Selain itu,
Keberhasikan kapitalisme dalam mempertahankan sistemnya berbanding lurus
dengan terbaliknya hakikat pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang
masih dipercaya sebagai upaya memanusiakan manusia justru
mendehumanisasikannya seperti yang dipercaya pendidikan Indonesia pada
awalnya. Realitanya, anak dan orang yang bunuh diri karena tidak mampu
membayar biaya sekolah; guru dan birokrasi pendidikan yang korup,
berkualitas rendah jadi antek negara yang membodohi rakyatnya ( di zaman
orde baru); kampus yang hanya jadi ajang menjadikan mahasiswa agar
hanya bisa tampil keren, konsumtif, tidak produktif (apalagi kritis dan
berlawanan); privatisasi dan komersialisasi lembaga pendidikan yang
tertuju pada kebijakan BHP; dan lain sebagainya adalah kepingan-kepingan
gambar tentang lukisan buram wajah pendidikan kita akibat dampak
globalisasi kapitalisme.[2]
Oleh karena sangat penting apabila kita sebagai mahasiswa dan calon
guru yang tentunya akan menentukan masa depan bangsa untuk memahami dan
menyadari bahkan bergerak melakukan perubahan dari terpuruknya
pendidikan bangsa akibat pengaruh kapitalisme sebagai dampak
globalisasi.
BAB II
ISI
Pengertian Kapitalisme
Secara bahasa Kata kapitalisme berasal dari capital yang berarti modal, dengan yang dimaksud modal adalah alat produksi seperti misal tanah,
dan uang. Dan kata isme berarti suatu paham atau ajaran. Jadi arti
kapitalisme itu sendiri adalah suatu ajaran atau paham tentang modal
atau segala sesuatu dihargai dan diukur dengan uang.[3]
Dalam
sejarahnya, seperti yang diungkap oleh Dudley Dillard, kapitalisme
adlah istilah yang dipakai untuk menamai system ekonomi yang mendominasi
dunia barat sejak runtuhnya feodalisme. Sebagai dasar bagi setiap
system, yang disebut “kapitalis” ialah hubungan-hubungan di antara
pemilik pribadi atas alat-alat produksi yang bersifat nonpribadi (tanah,
tambang, instalasi industry, dan sebagainya yang secara keseluruhan
disebut modal atau kapital) dengan para pekerja yang iarpun bebas namun
tak punya modal, yang menjual jasa tenaga kerjanya kepada majikan. Di
bawah kapitalisme, keputusan yang menyangkut produksi dibuat oleh kaum
bisnis swasta dan diarahkan demi keuntungan pribadi. Para pekerja itu
bebas dalam arti bahwa secara hokum mereka tidak dipaksa untuk bekerja
kepada para pemilik alat produksi itu. Namun demikian, karena para
pekerja itu tidak memiliki alat produksi yang diperlukan untuk bekerja
sendiri, mereka dipaksa oleh kenisccayaan ekonomis untuk menawarkan
jasa, dengan syarat tertentu kepada para majikan yang mengendalikan alat
produksi. Hasil tawar-menawar yang menyangkut upah akan menentukan
proporsi di mana produksi total masyarakat akan di bagi antara kelas
pekerja dengan kelas wiraswasta kapitalis.[4]
Sehingga kapitalisme diarahkan pada paham yang inti semuanya adalah
semua kegiatan produksi dan distribusi barang yang dihasilkan oleh
pemilik modal.
Kapitalisme muncul setelah feodalisme runtuh dengan secara garis besar terbagi menjadi tiga fase:[5]
1. Kapitalisme Awal ( 1500 – 1750 ).
Kapitalisme pada fase ini masih mengacu pada kebutuhan pokok yang ditandai dengan hadirnya industri
sandang di Inggris sejak abad XVI sampai abad XVIII. Dan berlanjut pada
usaha perkapalan, pergudangan, bahan- bahan mentah, barang- barang jadi
dan variasi bentuk kekayaanyang lain. Dan
kemuadian berubah menjadi perluasan kapasitas produksi, dan talenta
kapitalisme ini yang kemudian hari justru banyak menelan korban.
2. Kapitalisme Klasik ( 1750 – 1914 ).
Kapitalisme
pada fase ini merupakan pergeseran dari perdagangan public kebidang
industri yang ditandai oleh Revolusi Industri di Inggris dimana banyak
diciptakan mesin- mesin besar yang sangat menunjang industri. Di fase
inilah terkenal tokoh yang disebut “bapak kapitalisme” dengan bukunya
yang sangat tekenal the Wealth Of Nations (
1776 ) dimana salah satu poin ajarannya laissez faire dengan invisible
hand-nya ( mekanisme pasar )dan beberapa tokoh seangkatan seperti David
Ricardo dan John Stuart Mills,yang sering dikenal sebagai tokoh ekonomi
neo- klasik. Pada fase inilah kapitalisme sering mendapat hujatan pedas
dari kelompok Marx.
3. Kapitalisme Lanjut ( 1914 – sekarang ).
Momentum
utama fase ini adalah terjadinya Perang Dunia I, kapitalisme lanjut
sebagai peristiwa penting ini ditandai paling tidak olehtiga momentum.
Pertama, pergeseran dominasi modal dari Eropa ke Amerika. Kedua,
bangkitnya kesadaran bangsa- bangsa di Asia dan Afrika sebagai ekses
dari kapitalisme klasik, yang kemudian memanifestasikan kesdaran itu
dengan perlawanan. Ketiga, revolusi Bolshevik Rusia yang berhasrat
meluluhlantakkan institusi fundamental kapitalisme yang berupa pemilikan
secara individu atas penguasaan sarana produksi, struktur kelas sosial,
bentuk pemerintahan dan kemapanan agama. Darisana muncul ideology
tandingan yaitu komunisme.
Perspektif Teori Dasar Kapitalisme Secara Sosiologis Dan Ekonomis
Secara sosiologis paham kapitalisme berawal dari perjuangan terhadap kaum feudal, salah satu tokoh yang terkenal Max Weber dalam karyanya The Protestan Ethic of Spirit Capitalism, mengungkapkan bahwa kemunculan kapitalisme erat sekali dengan dengan semangat religius terutama kaum protestan. Pendapat Weber ini didukung Marthin Luther King yang mengatakan bahwa lewat perbuatan dan karya yang lebih baik manusia dapat menyelamatkan diri dari kutukan abadi. Tokoh lain yang mendukung adalah Benjamin Franklin dengan mottonya yang sangat terkenal yaitu “Time Is Money”, bahwa manusia hidup untuk bekerja keras dan memupuk kekayaan.
Secara sosiologis paham kapitalisme berawal dari perjuangan terhadap kaum feudal, salah satu tokoh yang terkenal Max Weber dalam karyanya The Protestan Ethic of Spirit Capitalism, mengungkapkan bahwa kemunculan kapitalisme erat sekali dengan dengan semangat religius terutama kaum protestan. Pendapat Weber ini didukung Marthin Luther King yang mengatakan bahwa lewat perbuatan dan karya yang lebih baik manusia dapat menyelamatkan diri dari kutukan abadi. Tokoh lain yang mendukung adalah Benjamin Franklin dengan mottonya yang sangat terkenal yaitu “Time Is Money”, bahwa manusia hidup untuk bekerja keras dan memupuk kekayaan.
Secara
ekonomis maka perkembangan tidak akan pernah akan bisa lepas Dari sang
maestro, Bapak kapitalisme yaitu Adam Smith dimana ia mengemukakan 5
teori dasar dari kapitalisme:
a. Pengakuan hak milik pribadi tanpa batas – batas tertentu.
b. Pengakuan hak pribadi untuk melakukan kegiatan ekonomi demi meningkatkan status sosial ekonomi.
c. Pengakuan adanya motivasi ekonomi dalam bentuk semangat meraih keuntungan semaksimal mungkin.
d. Kebebasan melakukan kompetisi.
e. Mengakui hokum ekonomi pasar bebas/mekanisme pasar.
Pola, Sifat Dan Watak Kapitalisme[6]
Ada
tiga hal yang menjadi pola sifat dan watak dasar kapitalisme, tiga hal
tersebut yang melandasi adanya penindasan yang terjadi dari sejak
munculnya kapitalisme sampai praktek kapitalisme yang terjadi detik ini.
Tiga hal tersebut adalah:
a. Eksploitasi
Ini
berarti pengerukan secara besar-besaran dan habis- habisan terhadap
sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia, seperti yang terjadi pada
jaman penjajahan, bahkan sampai sekarang meskipun dalam bentuk yang
tidak sama. Kaum kapitalis akan terus melakukan perampokan besar-
besaran terhadap kekayaan alam kita and terus mengeksploitasi para buruh
demi kepentingan dan keuntungan pribadi.
b. Akumulasi
Secara
harfiah akumulasi berarti penumpukan, sifat inilah yang mendasari
kenapa capitalist tidak pernah puas dengan dengan apa yang telah diraih.
Misalnya, kalau pertama modal yang dipunyai adalah Rp.1 juta maka si
kapitalis akan berusaha agar bisa melipat gandakan kekayaannya menjadi
Rp.2 juta dan seterusnya. Sehingga kaum kapitalis selalu menggunakan
segala cara agar kekayaan mereka berkembang dan bertambah.
c. Ekspansi
Ini
berarti pelebaran sayap atau perluasan wilayah pasar, seperti yang pada
kapitalisme fase awal. Yaitu dari perdagangan sandang diperluas pada
usaha perkapalan, pergudangan, barang- barang mentah dan selanjutnya
barang- barang jadi.
Dan
yang terjadi sekarang adalah kaum kolonialis melakukan ekspansi ke
seluruh penjuru dunia melalui modal dan pendirian pabrik-pabrik besar
yang nota bene adalah pabrik lisensi. Yang semakin dimuluskan dengan
jalan globalisasi.
Globalisasi Kapitalisme di Indonesia
Dalam
konteks Indonesia globalisasi awal (kapitalisme) dapat dirunut mulai
abad 19 yaitu berawal dari petualangan para pedagang Eropa seperti
Spanyol, Portugis, dan Inggris dan kemudian disusul dengan pedagang
Belanda. Di akhir abad 19 modal asing masuk secara besar-besaran ke
Indonesia dengan kebijakan pertanahan (agraria law) yaitu
menetapkan system sewa jangka dan hak pengusaha utang sangat ringan dan
menguntungkan pengusaha. Dari sini jelas bahwa globalisasi dengan
liberasasi ekonomi dan monopoli perdagangan benar-benar terjadi sejak
lama dan telah menyengsarakan rakyat Indonesia saat ini.
Globalisasi
abad 21 ini tentu semakin sistematis dan canggih, cara kerjanya tidak
konvensional seperti sebelumnya tetapi melalui hegemoni, ideology, dan
penciptaan undang-undang perdagangan dunia yang menguntungkan para
pemodal asing sehingga modal asing mengalir terus, mereka melakukan
kerjasama dengan pengusaha pribumi dalam perdagangan dan industry
otomotif. Hal ini berakibat kepada bangkrutnya perusahaan-perusahaan
pribumi sebab mereka tidak mampu bersaing dengan pemodal asing.tidak
mampu bersiang dengan pemodal asing dan industry asing modern.[7]
Globalisasi dunia tidak akan terlepas dari globalisasi ekonomi yang
menurut pemakalah adalah ekonomi merupakan sumber awal globalisasi di
dunia yakni dalam realitanya berkembanglah system ekonomi kapitalisme
termasuk di negara berkembang seperti di Indonesia.
Kapitalisme dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Di Indonesia
Sejarah Invansi Kapitalisme ke Pendidikan Indonesia
Kapitalisme
pendidikan di Indonesia bisa dilacak dari tindak tanduk dan tunduknya
pemerintah pada WTO . badan imperialisme ini bermula dari dirumuskannya General Agreement Of Tariffs and Trade
(GATT), atau kesepakatan umum tentang tarif-tarif dan perdagagan. GATT
ini didirikan atas dasar perjanjian di Jenewa, Swiss pasca perang dunia
berakhir, tepatnya pada oktober oktober 1947. GATT lahir untuk membobol
dinding-dinding yang menghalangi perdagangan antar Negara baik berupa
proteksi-proteksi maupun tarif bea cukai. Ini lantas dirumuskannya the
Washington Consensus atau konsensus Washington (1989-1990) yang salah
satu butir dari 10 butir rumusannya berbunyi “public expenditure” yang
intinya mengarahkan kembali pengeluaran masyarakat untuk bidang
pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, sehingga beban tanggung jawab
pemerintah berkurang. Demi membentuk badan yang lebih perkarsa, GATT ini
lantas berevolusi menjadi WTO pada 1 Januari 1995. Sebelumnya Indonesia
sudah memberikan restu melalui UU no. 7 tahun 1994. UU yang ditanda
tangani saat zaman pemerintahan Soeharto merupakan persetujuan sekaligus
pengesahan atas Agreement Establishing World Trade Organization (WTO) atau kesepakatan pendirian organisasi perdagangan dunia.
Indonesia pada tahun yang sama juga menerima program world bank atau bank dunia yang merambah dunia pendidikan, proyek itu bernama University Research For Graduate Education (URGE). Proyek ini diteruskan dengan proyek-proyek lain yaitu, Development Of Undergraduate Education (DUE), Quality Of Undergraduate Education (QUE).
Proyek -proyek ini dilaksanakan bukan untuk tujuan amal atau derma
sosial melainkan untuk meliberalisasi pendidikan. Proyek liberalisasi
ini disusul dengan proyek yang disponsori UNESCO yaitu Higher Educations For Competitiveness Project (HECP). HECP ini dikemudian hari berevolusi menjadi Indonesia Managing Higher Education For Relevance And Efficiency
(IMHERE). Liberasi semakin tampak terang, terbukti dari salah satu
indikator kuncinya adalah pembangunan struktur hukum yang koheren
pendukung efektivitas otonomi kelembagaan (baca: privatisasi). privatisasi dalam pendidikan ini akan berbentuk BHP. regulasi pem-BHP-an semua institusi pendidikan di Indonesia itu diperintahkan pada pemerintah Indonesia
agar disahkan paling lambat tahun 2010. untuk membiayai proyek
liberalisasi, otonomisasi, atau lebih lugasnya privatisasi dan
komodifikasi pendidikan Indonesia itu, dilancarkanlah loan agreement – ibrd – no. 4789-ind dan development credit agreement – ida – no. 4077-ind schedule 4.
dua perjanjian itu tidak lain dan tidak bukan adalah perjanjian hutang
untuk membiayai IMHERE dengan besaran total us$ 98.267.000,-.
Privatisasi dan Komiditasi Pendidikan Sebagai Dampak Globalisasi Kapitalisme
Pada intinya globalisasi kapitalisme pendidikan bersumber pada sepuluh kebijakan yang dirumuskan dalam Neoliberal Washington Consensus,
di mana seluruh ajaran ini membawa pengaruh yang luar biasa terhadap
formasi system social, ekonomi, politik, dan budaya. Pendidikan sebagai
salah satu system social, juga mengalami dampak yang sama. Konsekuensi
yang harus dibayar oleh lembaga pendidikan adalah perubahan logika
pendidikan yakni lembaga pendidikan berupa sekolah dan perguruan tinggi
yang semula merupakan pelayanan public (public servant) dengan memposisikan siswa dan mahasiswa sebagai warga Negara (citizein)
yang berhak mendapat pendidikan yang layak. Namun, ketika status BHMN
menjadi target, PTN (privatisasi pendidikan) tidak lebih sebagai
produsen, sedangkan mahasiswa dan siswa sebagai konsumennya. Jalinan
relasioonal yang membentuk pun mengarah pada tranksaksi harga antara
penjual dan pembeli, sementara produk (output) adalah pesanan dari
pemodal untuk memenuhi kebutuhan produsen dan mengabaikan aspek
keasadaran kritis. Dengan demikian pendidikan yang semua sebagai
aktivitas social budaya berubah menjadi komoditas usaha yang yang siap
diperjualbelikan dan menjadi ajang mencari keuntungan.[8]
Privatisasi
yang pada mulanya merupakan kebijakan yang berkaitan dengan ekonomi dan
pasar, juga merambah dunia pendidikan. Peter W. Cookson Jr Peter
merupakan penentang kebijakan privatisasi pendidikan. Argumen yang
dikemukakan dilandaskan atas adanya kekhawatiran bahwa privatisasi dalam
pendidikan justru bisa menjadi ancaman bagi masyarakat dan kelangsungan
demokrasi. Argumen ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Mansour
Fakih bahwa komodifikasi pendidikan hanya akan mengancam keberlangsungan
kemanusiaan. Peter meyakini bahwa pendidikan merupakan ruang politik,
budaya dan pendidikan itu sendiri yang jika dikelola dengan baik maka
akan menjadi pemicu perkembangan civil society dan demokrasi.
Berkaitan
dengan argumen pasar, Peter menjelaskan ketidaksetujuannya dengan
berangkat dari pertanyaan besar, apakah argumen pasar benar-benar mampu
memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat akan
pendidikan. Logika yang dipakai adalah jika pasar memang mampu
memberikan pelayanan dengan adil dan baik, maka ia tidak perlu diragukan
untuk bisa diaplikasikan dalam bidang pendidikan. Namun sebaliknya,
jika pasar tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik, maka penerapan
logika pasar dalam bidang pendidikan pun harus diragukan, bahkan
ditolak sama sekali.
Dengan
mengutip data dari ekonom Amerika John Kenneth Galbraith, Peter
menyatakan bahwa argumen privatisasi berasal dari teori kapitalisme laissez-faire
yang berdasar pada kompetisi, pilihan dan tanggung jawab individu.
Peter dengan gamblang menganalogikan teori yang sering kali digunakan
sebagai “dalil” ini, dengan teori tentang bumi yang datar. Teori
datarnya bumi runtuh dengan adanya ekspedisi mengelilingi bumi yang
akhirnya membuktikan bahwa bumi adalah bulat. Pun dalam teori bahwa
pasar dapat memberikan bagian yang adil juga perlu dibuktikan.
Privatisasi
pendidikan mulai merambah dunia pendidikan Indonesia pada tahun 2003
dengan kemunculan Undang Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dan perubahan status empat Perguruan Tinggi Negeri
(PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). PTN yang berubah
statusnya tersebut adalah UI, ITB, IPB, dan UGM. Wasana yang digulirkan
berkenaan dengan perubahan status PTN tersebut adalah otonomi kampus.
Padahal jika dirunut secara kronologis, otonomi kampus yang dimaksud
hanya merupakan eufemisme dari privatisasi. Hal ini bisa dimengerti,
kerena pemerintah tidak ingin terjadi gejolak dalam pelaksanaan
privatisasi di kampus-kampus tersebut. Akibat yang ditimbulkan dari
privatisasi PTN tersebut diantaranya adalah komodifikasi kampus dan
kenaikan biaya operasional yang eksesnya langsung dirasakan oleh
mahasiswa dan calon mahasiswa. Wacana privatisasi pendidikan ini makin
menemukan momentumnya di Indonesia, tatkala pemerintah mengajukan RUU
Badan Hukum Pendidikan. Sedangakan Komoditasi merupakan proses
transformasi yang menjadikan sesuatu menjadi komoditi atau barang untuk
diperdagangkan demi mendapatkan keuntungan.[9]
Maka komoditi pendidikan jelaslah merupakan implikasi dari privatisasi
pendidikan yang mana pendidikan difungsikan untuk mencari keuntungan
sebanyak-banyaknya.
Maka implikasinya pendidikan sebagai privatisas bercirikan:
1. Tujuan pendidikan dimakanai proses pemebentukan manusia siap pakai untuk mengisi ruang-ruang usaha public.
2. Peserta didik dianggap sebgai konsumen pembeli produk pendidikan sebagai syarat masuk memasuki dunia kerja.
3. Fungsi Pendidik atau guru dianggap sebagai pekerja.
4. Pengelola pendidikan dianggap sebagai manajer bisnis pendidikan.
5. Yayasan pendidikan, sekolah atau perguruan tinggi dianggap sebagai investor.
6. SPP dianggap sebagai Income dan sumber penghasilan.
7. Kurikulum dianggap pesanan dari pemilik modal.[10]
Kapitalime dan Filsafat
Apabila
pada pembahasan sebelumnya tantangan globalisasi terhadap pendidikan
digunakan filsafat pendidikan perenialisme dan rekonstruksionime maka
pada pembahasan mengenai kapitalisme menurut pemakalah lebih memilih
aliran esensialisme dan perenialisme yang keduanya merupakan aliaran
filsafat konservatif yang menentang adanya aliran filsafat
progersivisme yang tumbuh dari filsafat pragmatism. Sedangkan aliran
filsafat pragmatism sangat mendukung adanya paham kapitalisme karena
aliaran ini menganggap segala sesuatu dilihat dari segi kegunanaan atau
manfaat dimana kegunaan dapat dianggap berkaiatan dengan ide mencari
keuntungan sebanyak-banyak pada paham kapitalisme.
Pada
aliran filsafat esensialisme, menghendaki pendidikan yang bersendikan
atas nilai-nilai yang tinggi. Yang hakiki kedudukannya dalam kebudayaan.
Nilai-nilai inilah hendaklah yang sampai kepada manusia melalui
sivilisasi dan yang teruji oleh waktu. Tugas pendidikan adalah sebagai
perantara atau pembawa nilai-nilai yang ada dalam “gudang“ di luar
kejiwa anak-anak.[11]
Esensialisme tidak menyetujui progresivisme yang menganggap segala
sesuatu memiliki sifat serba fleksibel dan nilai-nilai itu berubah
secara berkembang. Selain itu pada prinsipnya esensialisme menentang
progresivisme yang mengimplikasikan pendidikan hanya pada peningkatan
kecerdasan sehingga mengkonsepkan kurikulum yang sangat bersifat
eksperimental dan cenderung pada pembelajaran behavioristik. Sedangakan
pembelajaran behavioristik adalah pembelajaran yang lebih ditekankan
pada pendidikan yang berbasis kapitalisme.
Sedangkan
perenilaisme, memandang bahwa keadaan sekarang adalah sebagai zaman
oleh kekacauan, kebingungan , dan kesimpangsiuran. Berhubungan dengan
itu dinilai sebagai zaman yang membutuhkan usaha untuk mengamankan
lapangan moral, intelektual, dan lingkungan social-kultural yang lain.
Pada pembahasan tentang nilai oleh aliran perenialisme menyatakan bahwa
kebaikan tertinggi adalah nilai yang merupakan satu kesatuan dengan
Tuhan serta kebahagiaan dunia yang merupakan bagian dari hidup itu
sendiri baru akan tetap tinggal nilainya, bila tidak dikuasai oleh hawa
nafsu belaka, sebab taraf ini adalah taraf hidup materiil.[12]
Selain itu pada aliran perenialisme diterangkan tentang hakekat manusia
itu pertama-tama adalah jiwanya. Serta aliran ini sangat senada dengan
aliaran filasafat pendidikan yang bernama neo-humanisme atau
neo-Thomisme.Sehingga dapat disimpulkan aliran perenialisme secara
otomatis mengkritik kapitalisme yang masuk pada dunia pendidikan karena
sifatnya yang hanya berupa materi dan sangat jauh dari sisi kemanusiaan
dan sisi teologisnya terutama apabila dikaitkan dengan pendidikan islam.
BAB III
KESIMPULAN
Kapitalisme
pada dasarnya menjadikan pendidikan sebagai proses yang tidak humanis
atau kapitalisme menyebabkan dehumanisasi pendidikan karena pendidikan
sudah tidak dianggap lagi sebagai proses kemanusiaan tetapi proses
bisnis dan keuntungan belaka. Namun, keberadaannya tidak dapat
dilepaskan begitu saja karena telah melekat kuat pada pendidikan kita
setelah selain kapitalisme dibawa dengan proses globalisasi yang sangat
kuat serta diperparah pemerintah sendiri secara tersirat menyetujui
masuknya kapitalisme dalam tubuh pendidikan melalui kebijakan-kebijakan
pendidikan yang dikeluarkannya. Sehingga untuk melepaskan kapitalisme
tidaklah mudah bagai membalikkan telapak tangan. Kapitalisme tidak hanya
diberantas dengan menjawab tantangan melalui pemikiran filsafat tetapi
harus dilanjutkan dengan memperbaiki system yang ada yakni mengkritisi
kebijakan-kebijakan pemerintah yang sekiranya telah melenceng jauh dari
hakikat pendidikan itu sendiri yakni pendidikan yang humanis.
DAFTAR PUSTAKA
Barnadib, Imam. Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: andi offset)
Machali, Imam, Editor. 2004. Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media).
Wahono, Fancis X. 2001. Kapitalisme Pendidikan (Antara Kompetisis Dan Keadilan), (Jakarta: insist press).
http://one.indoskripsi.com/content/sejarah-singkat-kapitalisme-sosialisme,
diakses pada tanggal 10 april 2010 pukul 20.00. merupakan makalah yang
ditulis oleh pekerja social IMPAS pada diklat IMPAS di Lawang, 19-20
Maret 2004.
M. Dawam Rahardjo, editor. 1987. Kapitalisme Dulu dan Sekarang, (Jakarta: LP3ES).
http://fuadinotkamal.wordpress.com/2009/05/13/privatisasi-dan-komoditasi-pendidikan/diakses pada tanggal 28 april 2010.
[1] Imam Machali, Editor, Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2004). Hal, 112.
[2] Fancis X Wahono, Kapitalisme Pendidikan (Antara Kompetisis Dan Keadilan), (Jakarta: insist press, 2001), hal.7
[3] http://one.indoskripsi.com/content/sejarah-singkat-kapitalisme-sosialisme,
diakses pada tanggal 10 april 2010 pukul 20.00. merupakan makalah yang
ditulis oleh pekerja social IMPAS pada diklat IMPAS di Lawang, 19-20
Maret 2004.
[5] Op.,cit. http://one.indoskripsi.com/content/sejarah-singkat-kapitalisme-sosialisme, diakses pada tanggal 10 april 2010 pukul 20.00.
[6]Ibid., http://one.indoskripsi.com/content/sejarah-singkat-kapitalisme-sosialisme, diakses pada tanggal 10 april 2010 pukul 20.00.
[7] Op., cit, Imam Machali, Editor, Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi. Hal. 116-117
[8] Ibid., Imam Machali, hal 122
[9] http://fuadinotkamal.wordpress.com/2009/05/13/privatisasi-dan-komoditasi-pendidikan/diakses pada tanggal 28 april 2010.
[10] Ibid., Imam Machali, hal 124
[11] Imam barnadib, filsafat pendidikan, (Yogyakarta: andi offset)
[12] Ibid., hal.69
Tidak ada komentar:
Posting Komentar