Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 19 Desember 2014

kayawisata






Metode Karya Wisata
Field Trip
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Strategi Belajar Mengajar

PAPER

Disusun oleh:
HARITS AL AYYUBIH
(120210302013)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014

Metode karya wisata adalah suatu metode mengajar yang dirancang terlebih dahulu oleh pendidik dan diharapkan siswa membuat laporan dan didiskusikan bersama dengan peserta didik yang lain serta didampingi oleh pendidik, yang kemudian dibukukan.
Kelebihan metode karyawisata sebagai berikut :
a. Karyawisata menerapkan prinsip pengajaran modern yang memanfaatkan lingkungan nyata dalam pengajaran.
b. Membuat bahan yang dipelajari di sekolah menjadi lebih relevan dengan kenyataan dan kebutuhan yang ada di masyarakat.
c. Pengajaran dapat lebih merangsang kreativitas anak.
Kekurangan metode karyawisata sebagai berikut :
a. Memerlukan persiapan yang melibatkan banyak pihak.
b. Memerlukan perencanaan dengan persiapan yang matang.
c. Dalam karyawisata sering unsur rekreasi menjadi prioritas daripada tujuan
utama, sedangkan unsur studinya terabaikan.
d. Memerlukan pengawasan yang lebih ketat terhadap setiap gerak-gerik anak didik di lapangan.
e. Biayanya cukup mahal.
f. Memerlukan tanggung jawab guru dan sekolah atas kelancaran karyawisata dan keselamatan anak didik, terutama karyawisata jangka panjang dan jauh.
Kadang-kadang dalam proses belajar mengajar siswa perlu diajak ke luar sekolah, untuk meninjautempat tertentu atau obyek yang lain. Menurut Roestiyah (2001:85), karya wisata bukan sekedar rekreasi, tetapi untuk belajar atau memperdalam pelajarannya dengan melihat kenyataannya. Karena itu dikatakan teknik karya wisata, ialah cara mengajar yang dilaksanakan dengan mengajak siswa ke suatu tempat atau obyek tertentu di luar sekolah untuk mempelajari atau menyelidiki sesuatu seperti meninjau pabrik sepatu, suatu bengkel mobil, toko serba ada, dan sebagainya.
            Menurut Roestiyah (2001:85) ,teknik karya wisata ini digunakan karena memiliki tujuan sebagai berikut: Dengan melaksanakan karya wisata diharapkan siswa dapat memperoleh pengalaman langsung dari obyek yang dilihatnya, dapat turut menghayati tugas pekerjaan milik seseorang serta dapat bertanya jawab mungkin dengan jalan demikian mereka mampu memecahkan persoalan yang dihadapinya dalam pelajaran, ataupun pengetahuan umum. Juga mereka bisa melihat, mendengar, meneliti dan mencoba apa yang dihadapinya, agar nantinya dapat mengambil kesimpulan, dan sekaligus dalam waktu yang sama ia bisa mempelajari beberapa mata pelajaran.
            Agar penggunaan teknik karya wisata dapat efektif, maka pelaksanaannya perlu memeperhatikan langkah-langkah sebagai berikut: (a) Persiapan, dimana guru perlu menetapkan tujuan pembelajaran dengan jelas, mempertimbangkan pemilihan teknik, menghubungi pemimpin obyek yang akan dikunjungi untuk merundingkan segala sesuatunya, penyusunan rencana yang masak, membagi tugas-tugas, mempersiapkan sarana, pembagian siswa dalam kelompok, serta mengirim utusan, (b) Pelaksanaan karya wisata, dimana pemimpin rombongan mengatur segalanya dibantu petugas-petugas lainnya, memenuhi tata tertib yang telah ditentukan bersama, mengawasi petugas-petugas pada setiap seksi, demikian pula tugas-tugas kelompok sesuai dengan tanggungjawabnya, serta memberi petunjuk bila perlu, (c) Akhir karya wisata, pada waktu itu siswa mengadakan diskusi mengenai segala hal hasil karya wisata, menyusun laporan atau paper yang memuat kesimpulan yang diperoleh, menindaklanjuti hasil kegiatan karya wisata seperti membuat grafik, gambar, model-model, diagram, serta alat-alat lain dan sebagainya.
           
Penggunaan teknik karya wisata ini masih juga ada keterbatasan yang perlu diperhatikan atau diatasi agar pelaksanaan teknik ini dapat berhasil guna dan berdaya guna, ialah sebagai berikut: Karya wisata biasanya dilakukan di luar sekolah, sehingga mungkin jarak tempat itu sangat jauh di luar sekolah, maka perlu mempergunakan transportasi, dan hal itu pasti memerlukan biaya yang besar. Juga pasti menggunakan waktu yang lebih panjang daripada jam sekolah, maka jangan sampai mengganggu kelancaran rencana pelajaran yang lain. Biaya yang tinggi kadang-kadang tidak terjangkau oleh siswa maka perlu bantuan dari sekolah.Bila tempatnya jauh, maka guru perlu memikirkan segi keamanan, kemampuan pihak siswa untuk menempuh jarak tersebut, perlu dijelaskan adanya aturan yang berlaku khusus di proyek ataupun hal-hal yang berbahaya.

            Suhardjono (2004:85) mengungkapkan bahwa metode karya wisata (field-trip) memiliki keuntungan: (a) Memberikan informasi teknis, kepada peserta secara langsung, (b) Memberikan kesempatan untuk melihat kegiatan dan praktik dalam kenyataan atau pelaksanaan yang sebenarnya, (c) Memberikan kesempatan untuk lebih menghayati apa yang dipelajari sehingga lebih berhasil, (d) membei kesempatan kepada peserta untuk melihat dimana peserta ditunjukkan kepada perkembangan teknologi mutakhir.
            Sedangkan kekurangan metode Field Trip menurut Suhardjono (2004:85) adalah: (a) Memakan waktu bila lokasi yang dikunjungi jauh dari pusat latihan, (b) Kadang-kadang sulit untuk mendapat ijin dari pimpinan kerja atau kantor yang akan dikunjungi, (c) Biaya transportasi dan akomodasi mahal.
Menurut Djamarah (2002:105), pada saat belajar mengajar siswa perlu diajak ke luar sekolah, untuk meninjau tempat tertentu atau obyek yang lain. Hal itu bukan sekedar rekreasi tetapi untuk belajar atau memperdalam pelajarannya dengan melihat kenyataannya. Karena itu, dikatakan teknik karya wisata, yang merupakan cara mengajar yang dilaksanakan dengan mengajak siswa ke suatu tempat atau obyek tertentu di luar sekolah untuk mempelajari atau menyelidiki sesuatu seperti meninjau pegadaian. Banyak istilah yang dipergunakan pada metode karya wisata ini, seperti widya wisata, study tour, dan sebagainya. Karya wisata ada yang dalam waktu singkat, dan ada pula yang dalam waktu beberapa hari atau waktu panjang.
            Metode karya wisata mempunyai beberapa kelebihan yaitu: (a) Karya wisata memiliki prinsip pengajaran modern yang memanfaatkan lingkungan nyata dalam pengajaran, (b) Membuat apa yang dipelajari di sekolah lebih relevan dengan kenyataan dan kebutuhan di masyarakat, (c) Pengajaran serupa ini dapat lebih merangsang kreativitas siswa, (d) Informasi sebagai bahan pelajaran lebih luas dan aktual.
            Kekurangan metode karya wisata adalah: (a) Fasilitas yang diperlukan dan biaya yang diperlukan sulit untuk disediakan oleh siswa atau sekolah, (b) Sangat memerlukan persiapan dan perencanaan yang matang, (c) memerlukan koordinasi dengan guru-guru bidang studi lain agar tidak terjadi tumpang tindih waktu dan kegiatan selama karya wisata, (d) dalam karya wisata sering unsure rekreasi menjadi lebih prioritas daripada tujuan utama, sedang unsure studinya menjadi terabaikan, (e) Sulit mengatur siswa yang banyak dalam perjalanan dan mengarahkan mereka kepada kegiatan studi yang menjadi permasalahan.
            Metode field trip atau karya wisata menurut Mulyasa (2005:112) merupakan suatu perjalanan atau pesiar yang dilakukan oleh peserta didik untuk memperoleh pengalaman belajar, terutama pengalaman langsung dan merupakan bagian integral dari kurikulum sekolah.Meskipun karya wisata memiliki banyak hal yang bersifat non akademis, tujuan umum pendidikan dapat segera dicapai, terutama berkaitan dengan pengembangan wawasan pengalaman tentang dunia luar.
            Sebelum karya wisata digunakan dan dikembangkan sebagai metode pembelajaran, hal-hal yang perlu diperhatikan menurut Mulyasa (2005:112) adalah: (a) Menentukan sumber-sumber masyarakat sebagai sumber belajar mengajar, (b) Mengamati kesesuaian sumber belajar dengan tujuan dan program sekolah, (c) Menganalisis sumber belajar berdasarkan nilai-nilai paedagogis, (d) Menghubungkan sumber belajar dengan kurikulum, apakah sumber-sumber belajar dalam karyawisata menunjang dan sesuai dengan tuntutan kurikulum, jika ya, karya wisata dapat dilaksanakan, (e) membuat dan mengembangkan program karya wisata secara logis, dan sistematis, (f) Melaksanakan karya wisata sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, dengan memperhatikan tujuan pembelajaran, materi pelajaran, efek pembelajaran, serta iklim yang kondusif. (g) Menganalisis apakah tujuan karya wisata telah tercapai atau tidak, apakah terdapat kesulitan-kesulitan perjalanan atau kunjungan, memberikan surat ucapan terima kasih kepada mereka yang telah membantu, membuat laporan karyawisata dan catatan untuk bahan karya wisata yang akan datang.
Dengan metode karyawisata, guru mengajak siswa ke suatu tempat (objek) tertentu untuk mempelajari sesuatu dalam rangka suatu pelajaran di sekolah.Berbeda dengan darmawisata, disini para siswa sekedar pergi ke suatu tempat untuk rekreasi. Metode karyawisata berguna bagisiswa untuk membantu mereka memahami kehidupan ril dalam lingkungan beserta segalamasalahnya . Misalnya, siswa diajak ke museum, kantor, percetakan, bank, pengadilan, atau kesuatu tempat yang mengandung nilai sejarah/kebudayaan tertentu.Agar penggunaan teknik karya wisata dapat efektif, maka pelaksanaannya perlumemeperhatikan langkah-langkah sebagai berikut:
1.      Persiapan
Dalam merencanakan tujuan karyawisata, guru perlu menetapkan tujuan pembelajarandengan jelas, mempertimbangkan pemilihan teknik, menghubungi pemimpin obyek yangakan dikunjungi untuk merundingkan segala sesuatunya, penyusunan rencana yangmasak, membagi tugas-tugas, mempersiapkan sarana, pembagian siswa dalam kelompok,serta mengirim utusanUntuk menetapkan tujuan ini ditunjuk suatu panitia dibawah bimbingan guru, untuk mengadakan survei ke obyek yang dituju.Dalam kunjungan pendahuluan ini sudah harus diperoleh data tentang objek antara laintentang lokasi, aspek-aspek yang dipelajari, jalan yang ditempuh, penginapan, makan dan biaya transportasi, bila objek yang dituju jauh. dimana.
2.      Perencanaan
Hasil kunjungan pendahuluan (survei) dibicarakan bersama dalam rangka menyusun perencanaan yang meliputi: tujuan karyawisata, pembagian objek sesuai dengan tujuan,jenisobjek sesuai dengan tujuan, jenis objek serta jumlah siswa.
a.       Dibentuk panitia secara lengkap, termasuk ketua tiap kelompok/seksi.
b.      Menentukan metode mengumpulkan data, mungkin berwujud wawancara, pengamatan langsung, dokumentasi.
c.       Penyusunan acara selama karyawisata berlangsung.Kepada para siswa harus ditanamkan disiplin dalam mentaati jadwal yang telahdirencanakan sehingga pelaksanaan berjalan lancar sesuai dengan rencana.
d.      Mengurus perizinan.
e.       Menentukan biaya, penginapan, konsumsi serta peralatan yang diperlukan.
3.      Pelaksanaan
Siswa melaksanakan tugas sesuai dengan pembagian yang telah ditetapkan dalam rencanakunjungan, sedangkan guru mengawasi, membimbing, bila perlu menegur sekiranya ada siswayang kurang mentaati tata tertib sesuai acara. Pemimpin rombongan mengatur segalanya dibantu petugas-petugas lainnya, memenuhi tata tertib yang telah ditentukan bersama, mengawasi petugas-petugas pada setiap seksi, demikian pula tugas-tugas kelompok sesuai dengan tanggung jawabnya,  serta memberi petunjuk bila perlu.
4.      Pembuatan laporan Akhir karya wisata,
pada waktu itu siswa mengadakan diskusi mengenai segala hal hasilkarya wisata, menyusun laporan atau paper yang memuat kesimpulan yang diperoleh, menindak lanjuti hasil kegiatan karya wisata seperti membuat grafik, gambar, model-model, diagram, sertaalat-alat lain dan sebagainya. Hasil yang diperoleh dan kegiatan karyawisata ditulis dalam bentuk laporan yang formatnya telah disepakati bersama.

Alasan menurut saya:
a.       Siswa dapat berpartisispasi dalam berbagai kegiatan yang dilakukan oleh para petugas pada obyek karya wisata itu, serta mengalami dan menghayati langsung apa pekerjaan mereka. Hal mana tidak mungkin diperoleh disekolah, sehingga kesempatan tersebut dapat mengembangkan bakat khusus atau ketrampilan mereka,
b.      Siswa dapat melihat berbagai bentuk miniatur bahkan benda asli peninggalan sejarah
c.       dalam kesempatan ini siswa dapat bertanya jawab, menemukan sumber informasi yang pertama untuk memecahkan segala persoalan yang dihadapi, sehingga mungkin mereka menemukan bukti kebenaran teorinya, atau mencobakan teorinya ke dalam praktek,
d.      Dengan obyek yang ditinjau itu siswa dapat memperoleh bermacam-macam pengetahuan dan pengalaman yang terintegrasi, yang tidak terpisah-pisah dan terpadu.
e.       Siswa diajarkan untuk mengatur berorganisasi dan bekerja sama dalam persiapan pelaksanaan karya wisata.

role playing dalam pembelajaran sejarah

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Pembelajaran yang bermakna tentu saja didukung oleh berbagai factor. Pengiring salah satunya yaitu metode pembelajaran. Metode pembelajaran mengandung tiga fungsi yaitu sebagai alat motivasi ekstrinsik, sebagai strategi pengajaran dan sebagai alat mencapai tujuan. Sebagai alat motivasi ekstrinsik metode berfungsi sebagai alat perangsang dari luar yang didapat membangkitkan semangat seseorang. Sebagi strategi pembelajaran metode berfungsi sebagai alat mengajar untuk mencapai tujuan pembelajran yang efektif dan efisien dan sebagai alat mencapai tujuan metode berfungsi sebagai sarana untuk dapat mencapai tujuan ( Syaiful Bahri Djamarah, 2002: 83)
Metode pembelajaran memegang peran penting dalam rangkaian sistem pembelajaran. Maka dari itu, diperlukan kecerdasan dan kemahiran guru dalam memilih metode pembelajaran. Pemilihan metode yang kurang tepat menjadikan pembelajaran tidak efektif dan kosong. Pembelajran menjadi kegiatan harian yang tidak memiliki jiwa dan semangat. Kurangnya kecerdasan guru dalam memilih metode yang tepat dapat berdampak pada ketidaktercapainya tujuan pembelajaran baik secara khusus per bidang maupun tujuan pendidikan secara nasional.
Metode Role Play dapat menjadi sebuah metode alternatif dalam semua mata pelajaran sosial dan memberikan sebuah nuansa baru dalam pembelajaran yang cenderung konvensional. Dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) penggunaan metode Role Play dapat menghidupkan suasana pembelajaran dan menumbuhkan semangat dan kepekaan siswa terhadap lingkungan dan sesama, mengingat bahwa inti dari pembelajran IPS adalah manusia dan lingkungan.
Penggunaan metode Role Play tidak saja memberdayakan siswa sebagai subjek sekaligus objek pembelajaran tetapi juga dapat memicu kreativitas guru sebagai fasilitator dan tutor dalam pembelajran. Guru perlu memahami materi dan mempersiapkan instrumen yang tepat bagi siswa dalam pelaksanaan Role Playing. Guru tidak hanya mengandalkan buku teks sebagai sumber belajar tetapi kemampuan untuk merancang percakapan dialog, dan suasana yang tepat agar Role Playing dapat berlangsung sempurna. Tugas guru tidaklah mudah. Maka dari itu dalam kenyataan dilapangan kita seringkali menemukan bahwa banyak guru menjadi tidak kreatif dan hanya mengajar dengan seadanya.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, maka rumusan masalah yang telah diambil antara lain :
• Apa sajakah yang menjadi ciri-ciri dari metode Role Playing ?
• Bagaimanakah langkah-langkah penerapan metode Role Playing tersebut ?
• Apa sajakah kelemahan dan kelebihan dari metode Role Playing ?
• Bagaimanakah implementasi metode Role Playing tersebut dalam pembelajaran sejarah

3. Tujuan
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk :
 Mengetahui ciri-ciri dari metode pembelajaran Role Playing
 Mengetahui langkah-langkah penerapan metode Role Playing
 Mengetahui kelemahan dan kelebihan dari metode Role Playing
 Serta untuk mengetahui implementasi metode Role Playing dalam pembelajaran sejarah

4. Manfaat
o Bagi tim penulis, sebagai referensi dan penamabah ilmu pengetahuan agar penulis dapat lebih mengembangkan model pembelajaran pembelajaran di sekolah kelak.
o Bagi mahasiswa ,diharapkan mampu menjadi bahan referensi untuk pengambagan media dan model pembelajaran dengan merujuk pada makalah ini.
o Bagi masyarakat, untuk menambah wawasan keilmuan, khususnya dalam memilih pembelajaran dan menyajikan materi pelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Ciri Ciri
Sedangkan ciri-ciri metode pembelajaran bermain peran adalah sebagai berikut :
a. Siswa dalam kelompok bermain menyelesaikan materi belajar sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai.
b. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda, baik tingkat kemampuan tinggi, sedang maupun rendah. jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta memperhatikan kesetaraan gender.
c. Penghargaan lebih menekankan pada kelompok dari pada masing-masing individu.

2. Langkah – Langkah Penerapan
Langkah-langkah penerapanya adalah sebagai berikut :
a) Guru menyusun/menyiapkan skenario yang akan ditampilkan.
b) Menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari skenario dalam waktu beberapa hari sebelum pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar..
c) Guru membentuk kelompok siswa yang anggotanya 5 orang.
d) Memberikan penjelasan tentang kompetensi yang ingin dicapai.
e) Memanggil para siswa yang sudah ditunjuk untuk melakonkan skenario yang sudah dipersiapkan.
f) Masing-masing siswa berada di kelompoknya sambil mengamati skenario yang sedang diperagakan.
g) Setelah selesai ditampilkan, masing-masing siswa diberikan lembar kerja untuk membahas/memberi penilaian atas penampilan masing-masing kelompok.
h) Masing-masing kelompok menyampaikan hasil kesimpulannya.
i) Guru memberikan kesimpulan secara umum.
j) Evaluasi.
k) Penutup.

3. Kelebihan dan Kelemahan
Kelebihan metode Role Playing melibatkan seluruh siswa berpartisipasi, mempunyai kesempatan untuk memajukan kemampuannya dalam bekerja sama. Siswa juga dapat belajar menggunakan bahasa dengan baik dan benar.
Hakekatnya sebuah ilmu yang tercipca oleh manusia tidak ada yang sempurna,semua ilmu ada kelebihan dan kekurangan.Jika kita melihat metode Role Playing dalam dalam cakupan cara dalam prooses mengajar dan belajar dalam lingkup pendidikan tentunya selain kelebihan terdapat kelemahan.
Sebagaimana yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Keunggulan Kelemahan
• Peran yang ditampilkan peserta didik dengan menarik akan segera mendapat perhatian peserta didik lainya • Kemungkinan ada peserta didik yang tidak menyukai role playing
• Teknik ini baig digunakan dalam kelompok atau besar maupun kelompok kecil • Lebih menekankan terhadap masalah daripada terhadp peran
• Dapat membantu peserta didik untuk memahami pengalaman orang lain yang melakukan peran • Mungkin akan terjadi kesulitan dan penyesuaian diri terhadap peran yang harus dilakukan
• Dapat membantu peserta didik untuk menganalisis dan memahami situasi serta memikirkan maslah yang terjadi dalam role playing • Mungkin membutuhkan waktu yang lebih lama untuk memerankan sesuatu dalam kegiatan belajar ini.
• Menumbuhkan rasa kemampuan dan kepercayaan diri peserta didik untuk berperan dalam menghadapi masalah • Role Playing terbatas pada beberapa kegiatan situasi belajar.

4. Implementasi dalam Pembelajaran Sejarah
Sejarah merupakan suatu pelajaran yang menguak tentang cerita masa lalu yang tidak dapat terulang. Oleh karena itu saat ini menjadi sulit bagi siswa yang belum pernah mengenal materi sejarah lebih jauh untuk mengetahui tentang sejarah lebih banyak, bagi guru kesulitan yang paling dirasakan adalah untuk menjelaskan dan memberikan pengambaran dan penananman imajinasi tentang suatu kejadian sejarah agar siswa mampu membayangakan terbawa di masa lalu ketika guru memberikan materi apalagi sebelum adanya alat bantu atau media bantu modern bagi guru dalam proses pembelajaranya tetapi dewasa ini semua itu sudah dapat diatasi dengan munculnya beberapa metode – metode pembelajaran yang saat ini sudah banyak vanyak dikembangakna disekolah sekolah baik yang bertaraf international, negeri, dan swasta digunakan guru. Meskipun terkadang metode tersebut juga sulit di terapkan di kelas terutama jika guru tidak mengenal fungsi pembelajaranya dan siswa yang baru mengenal metode itu pasti sulit untuk dijalankan. Tetapi untuk sejarah salah satu metode yaitu role playing dianggap sudah mampu untuk memeberikan pengambaran tentang materi yang diberikan
Berikut Penerapan dan Pengembangan Model Pembelajaan Role Playing dalam Pembelajaran Sejarah:
Siswa berperan dalam Role Playing dengan tema “Persiapan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia”
a. Tahap pertama:
o Menghangatkan situasi kelas, mengidentifikasi atau memperkenalkan masalah
o Menjelaskan masalah, menafsirkan masalah dalam cerita dan menulusuri isu. Menjelaskan role playing.
b. Tahap kedua:
o Guru memandu siswa untuk memilih partisipan Menganalisis peran. Memilih pemain peran untuk memerankan tokoh
o Guru memotivasi peserta didik untuk menghayati peran dan membangkitkan rasa empati bagi pengamat (peserta lain) menghargai tokoh yang berperan dalam proklamasi kemerdekaan.
o Siswa berperan sebagai tokoh yang bersikap: pantang menyerah, semangat untuk meraiih cita-cita.
c. Tahap ketiga: mensetting pentas
o Mengatur rangkaian tindakan. Merekapitulasi peran. Mendalami situasi-situasi problematic.
d. Tahap keempat: menyiapkan peneliti
o Mempersiapkan apa yang akan dicari. Menugaskan observasi9
e. Tahap kelima
o Memerankan tokoh-tokoh penting dan peran- nya dalam peristiwa sekitar proklamasi kemerdekaan indonesia.
o Memulai permainan peran.
o Mengukuhkan permainan peran.
o Menghentikan permainan peran.
f. Tahap keenam: diskusi dan evaluasi
o Mereview tindakan dalam role play (peristiwa, posisi, dan realisme)
o Mendiskusikan focus utama.
o Mengembangkan pemeran selanjutnya. siswa siswa dapat memberi contoh semangat untuk meraih cita-cita. Misalnya bagaimana usaha mempertahankan kemerdekaan, memberi contoh cinta tanah air dengan menjaga keamanan lingkungan sekitar dimana mereka tinggal.
g. Tahap ketujuh: memerankan kembali
o Memainkan peran yang telah diubah.
o Guru menyarankan langkah-langkah selanjutnya atau alternative-alternatif perilaku.
h. Tahap kedelapan: mendiskusikan dan mengevaluasi kembali
o Sebagaimana dalam tahap enam tentang proses kebangkitan nasional, bagaimana usaha persiapan kemerdekaan, arti penting proklamasi kemerdekaan bagi bangsa indonesia, mengenal tokoh-tokoh penting dan perannya
o Dalam peristiwa sekitar proklamasi kemerdekaan indonesia, setting tempat terselenggaranya proklamasi kemerdekaan indonesia, manfaat proklamasi kemerdekaan indonesia, bagaimana menghargai tokoh yang berperan dalam proklamasi kemerdekaan, bersikap: pantang menyerah, semangat untuk meraiih cita-cita. cinta tanah air dengan menjaga keamanan lingkungan mempertahankan Negara0 Kesatuan Republik Indonesia, dan bersikap persatuan dengan menjalin persahabatan
i. Tahap kesembilan:
o berbagi dan mengembangkan pengalaman,
o menghubungkan situasi permasalahan dengan pengalaman yang sebenarnya terjadi dan masalah-masalah mutakhir dan menelusuri prinsip secara umum. proses kebangkitan nasional, bagaimana usaha persiapan kemerdekaan, arti penting proklamasi kemerdekaan bagi bangsa indonesia, mengenal tokoh-tokoh penting dan peran- nya dalam peristiwa sekitar proklamasi kemerdekaan indonesia, setting tempat terselenggaranya proklamasi kemerdekaan indonesia, manfaat proklamasi kemerdekaan indonesia, bagaimana menghargai tokoh yang berperan dalam proklamasi kemerdekaan, bersikap: pantang menyerah, semangat untuk meraiih cita-cita. cinta tanah air dengan menjaga keamanan lingkungan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan bersikap persatuan dengan menjalin persahabatan.
o Pembelajaran diakhiri dengan membuat kesimpulan bersama-sama dari hasil diskusi, melakukan tes / pertanyaan yang berhubungan dengan materi di atas dan memberikan tugas individual.
Kemudian teknik ini dapat digunakan apabila terdapat ketercukupan waktu dalam penyelengaraannya jika tidak role play akan menggangu proses situsasi kegiatan belajar. Setelah selesai proses pelaksanaanya diharapkan siswa mampu merangsang pemikiran siswa tentang sejarah dan secara bersama sama menemukan ketepatan, kekurangan, dan pengembangan peran dan karakter siswa terhadap sejarah.
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Metode Role Playing adalah suatu cara mengajar dengan jalan mendramatisasikan bentuk tingkah laku dalam hubungan sosial. Titik tekanannya terletak pada keterlibatan emosional dan pengamatan indera ke dalam suatu situasi masalah yang secara nyata dihadapi oleh peserta didik.
Dengan adanya model pembelajaran ini mampu membantu guru untuk lebih mengembangakan daya cipta dan kreatifitas guru sehingga dalam pengembangan pembelajarannya lebh mudah diterima oleh siswa. Bagi siswa juga Role Playing yang dalam bentuk dramatisasi ini mampu menyalurkan daya imajinasi siswa dengan itu siswa dituntut untuk cepat memahami materi.
Bagi pembelajaran sejarah role playing juga termasuk modelpembelajaran yang membantu peran guru dalam menyalurkan ilmu pengetahuannya meskipun membutuhkan persiapan yang tidak sedikit tapi role playing sudah mampu dianggap sebagai penyalur daya imajinasi guru dalam mengajar dan juga bagi siswa yang mengikuti juga mampu menyerap apa yang telah di ceritakan guru dalam peranya dalam role playing.
2. Saran – Saran
Diharapkan jika mahasiswa sudah mengerti tentang Model Pembelajaran Role Playing diharapkan kelak ketika mengajar sudah tidak menemui kesulitan saat memberikan materi pada siswa.
Selain itu, bagi guru juga hdiharapkan mampu menguasai berbagai metode pembelajaran dan bisa memilih metode yang tepat dan sesuai untuk materi yang akan diajarakan. Guru mampu menyesuaikan kondisi lingkungan, memanfaatkan sarana yang tersedia dan menganalisa kesiapan siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Sehingga bisa mencapai tujuan pembelajaran secara maksimum.

Daftar Pustaka

- Sudjana, S.( 2005 ). Metoda & Teknik Pembelajaran Partisipatif. Bandung: Falah Production.
Ket: Buku Koleksi Perpustakaan IKIP PGRI Madiun.
- http://wyw1d.wordpress.com/2009/11/09/model-pembelajaran-14-role-playing/
- http://edusogem.blogspot.com/2010/11/kelebihan-dan-kekurangan-role-playing.html
- http://dedenbinlaode.blogspot.com/2010/01/penerapan-model-pembelajaran-role.html
- www.g-excess.com/.../pengertian-metode-pembelajaran-role-playing.html
- http://www.ras-eko.co.cc/2011/05/metode-pembelajaran-bermain-peran-role.html
- http://www.penerapan_dan_pengembangan_strategi_pembelajaran_ips_MI_lingkup_materi_essensial.html

pembelajaran kolaborasi

1 Pengertian pembelajaran kolaborasi

          
     Dalam pandangan masyarakat umum, pengertian collaborative learning (CBL) sering disamakan dengan cooperative learning (CPL). Definisi pembelajaran kooperatif digambarkan sebagai suatu struktur kerjasama dalam bentuk kerja kelompok. Didalam struktur kerja kooperasi ini terjadi proses-proses interaksi antar para anggota kelompok, yang disebut kolaborasi. Kolaborasi ini menurut pendapat Gerlach (1994) adalah : “Collaboration is a philosophy of interaction and personal lifestyle where individuals are responsible for their actions, including learning and respect the abilities and contributions of their peers. Menurut pandangan ini, kolaborasi merupakan suatu landasan interaksi dan cara hidup seseorang dimana individu bertanggung jawab atas tindakannya, yang mencakup kemampuan belajar dan menghargai serta memberikan dukungan terhadap kelompoknya. Melalui aktivitas-aktivitas tersebut, kita dapat mengindentifikasi perilaku-perilaku kolaborasi, menempatkan perilaku tersebut dalam urutan yang sesuai, dan pebelajar mendemonstrasikannya. Hal yang inti berkenaan dengan keterampilan-keterampilan kolaborasi ini adalah kemampuan untuk melakukan tukar pikiran dan perasaan antara pebelajar yang satu sama lainnya pada tingkatan yang sama (Borich,1996).  CPL lebih dikendalikan oleh pembelajar, sedangkan CBL oleh pebelajar. Dalam CPL banyak mekanisme analisis tim dan introspeksi berpusat pada pembelajar sedangkan dalam CBL lebih berpusat pada pebelajar (Panitz,1996). Kagan (1990) mendefinisikan CPL sebagai suatu pendekatan struktural yang berdasarkan pada penciptaan, analisis dan aplikasi struktur yang sistematis, atau mengorganisir interaksi sosial di dalam kelas . Struktur pada umumnya melibatkan satu rangkaian langkah-langkah. Kata kunci penting pendekatan ini adalah pembedaan antara " struktur" dan " aktivitas".
     Dalam CBL, pembelajar memindahkan semua otoritas kepada tim, sementara CPL tidak melakukan hal seperti ini. Kerja kolaborasi adalah suatu proses kerjasama yang dilakukan oleh antar individu maupun antar kelompok, yang saling penuh perhatian dan penghargaan sesama anggota untuk mencapai tujuan bersama. Dalam konteks pembelajaran Robert et.al mengatakan,  pembelajaran kolaboratif adalah pembelajaran yang asaskan koperatif. Sehingga untuk mewujudkan pembelajaran kolaboratif diawali dengan membiasakan siswa dengan pembelajaran kooperatif.  Pembelajaran kooperatif yang didesain oleh guru, akan menjadi awal perubahan di kelas.  Jika siswa terbiasa bekerjasama, saling tergantung satu dengan yang lain untuk memperoleh pengetahuan, maka siswa akan berkembang menjadi siswa-siswa kolaboratif.   Lebih lanjut Robert membedakan pembelajaran kooperatif dan kolaboratif, sebagai berikut:
Aspek
Kooperatif
Kolaboratif
Siswa
Siswa menerima latihan dalam kemampuan bekerjasama dan sosial.
Siswa sudah memiliki kemampuan bekerjasama dan sosial. Siswa  membangun kemampuannya itu untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Aktivitas
Aktivitas distrukturkan, setiap pelajar memainkan peranan spesifik.
Siswa berunding dan mengorganisasikan sendiri.
Guru
Guru memantau, mendengar dan campur tangan dalam kegiatan kelompok jika perlu.
Aktivitas kelompok tidak dipantau oleh guru.  Jika timbul persoalan, siswa memecahkan sendiri dalam kelompoknya. Guru hanya membimbing siswa ke arah penyelesaian persoalan.
Output
Ada hasil kerja kelompok yang akan dinilai guru.
Draf kerja untuk disimpan siswa untuk  kerja lanjutan.
Penilaian
Siswa menilai prestasi individu dan kelompok dengan dibimbing oleh guru.
Siswa menilai prestasi individu dan kelompok tanpa dibimbing oleh guru.
Oleh karena itulah, Schrage (1990) menyatakan  pembelajaran kolaboratif melebihi aktivitas bekerjasama (kooperatif) kerana ia melibatkan kerjasama hasil penemuan dan hasil yang didapatkan daripada sekedar pembelajaran baru. Menurut Jonassen (1996), seperti halnya pembelajaran kooperatif, pembelajaran kolaboratif juga dapat membantu siswa membina pengetahuan yang lebih bermakna jika dibandingkan dengan pembelajaran secara individu. Selain itu, dengan menjalankan aktivitas dan projek pembelajaran secara kolaboratif secara tidak langsung  kemahiran-kemahiran seperti bagaimana berkomunikasi akan dipelajari oleh pelajar.
Kolaboratif dapat dilakukan di dalam kumpulan yang besar maupun kumpulan yang terdiri dari empat atau lima orang pelajar. Sedangkan pembelajaran koperatif hanya kelompok kecil pelajar yang bekerja dan memahami secara bersama.  Jadi pembelajaran koperatif adalah satu  bentuk kolaboratif, yaitu kelompok besar belajar bersama untuk mencapai hasil  yang disepakati bersama (Johnson & Johnson, 1989).

2 Karakteristik Pembelajaran Kolaborasi

Myers (1991) memandang collaborative learning sebagai pembelajaran yang berorientasi "transaksi" ditinjau dari sisi metodologi. Orientasi itu memandang pembelajaran sebagai dialogue antara pebelajar dengan pebelajar, pebelajar dengan pembelajar, pebelajar dengan masyarakat dan lingkungannya. Para pebelajar dipandang sebagai pemecah masalah. Perspektif ini memandang mengajar sebagai " percakapan" di mana para pembelajar dan para pebelajar belajar bersama-sama melalui suatu proses negosiasi. Proses negosiasi dalam pola belajar kolaborasi memiliki 6 karakteristik, yakni (1) tim berbagi tugas untuk mencapai tujuan pembelajaran, (2) diantara anggota tim saling memberi masukan untuk lebih memahami masalah yang dihadapi, (3) para anggota tim saling menanyakan untuk lebih mengerti secara mendalam, (4) tiap anggota tim menguasakan kepada anggota lain untuk berbicara dan memberi masukan, (5) kerja tim dipertanggungjawabkan ke (orang) yang lain, dan dipertanggung-jawabkan kepada dirinya sendiri, dan (6) diantara anggota tim ada saling ketergantungan. Ada sejumlah faktor yang perlu diperhatikan dalam pola belajar kolaboratif, yakni peran pebelajar dan peran pembelajar (Panitz,1996). Peran pebelajar yang harus dikembangkan adalah (1) mengarahkan, yaitu menyusun rencana yang akan dilaksanakan dan mengajukan alternatif pemecahan masalah yang dihadapi, (2) menerangkan, yaitu memberikan penjelasan atau kesimpulan-kesimpulan pada anggota kelompok yang lain, (3) bertanya, yaitu mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk mengumpulkan informasi yang ingin diketahui, (4) mengkritik, yaitu mengajukan sanggahan dan mempertanyakan alasan dari usulan/ pendapat/pernyataan yang diajukan, (5) merangkum, yaitu membuat kesimpulan dari hasil diskusi atau penjelasan yang diberikan, (6) mencatat, yaitu membuat catatan tentang segala sesuatu yang terjadi dan diperoleh kelompok, dan (7) penengah, yaitu meredakan konflik dan mencoba meminimalkan ketegangan yang terjadi antara anggota kelompok. Dalam kaitan dengan ciri-ciri khusus atau karakteristik itu, diidentifikasi ada empat karakteristik dalam melakukan aktifitas pembelajaran yang melibatkan proses-proses kolaborasi (Tinzmann,et al.,1990). Keempat karakteristik tersebut meliputi :
1.      Berbagi pengetahuan antara pembelajar dan pebelajar
Sumber pengetahuan bukan hanya berasal dari pembelajar (guru dan dosen) saja, tetapi juga berasal dari sumber-sumber lain termasuk dari pebelajar sendiri. Dalam pembelajaran konvensional (tradisional), pebelajar sangat dominan sebagai penyaji pengetahuan atau informasi (information sender). Artinya alur informasi hanya melalui satu arah saja, the sage on the stage, yaitu dari pembelajar kepada pebelajar. Pebelajar bersifat pasif karena hanya menerima saja dari guru. Sebaliknya dalam pembelajaran kolaborasi alur informasi dilakukan secara timbal balik dan sharing baik antara pembelajar-pebelajar ataupun antara pebelajar sendiri dalam kelompok kerjanya. Pembelajar memiliki pengetahuan tentang isi, keterampilan dan bekerja secara kolaboratif membangun pengetahuan, pengalaman personal, bahasa dan strategi serta kultur belajar pebelajar. Dengan demikian, pembelajar lebih berperan sebagai the guide on the side.
2.      Berbagi kekuasaan antara pembelajar dan pebelajar
Membagi kekuasaan (share authority) antara pembelajar dan pebelajar atau sesama pebelajar akan memberikan dampak positif dalam situasi kehidupan kelas. Dalam pemebelajaran kolaborasi, pembelajar berbagi kekuasaan dengan pebelajar secara khusus. Sebaliknya, dalam pembelajaran tradisional, pemebelajar lebih dominan dalam bertanggung jawab, menetapkan tujuan, merancang tugas-tugas belajar, dan menilai hasil belajar. Pembelajar yang kolaboratif secara bersama-sama merumuskan tujuan pemebelajaran, memberikan pilihan-pilihan kegiatan dan tugas-tugas belajar sesuai dengan perbedaan minat dan tujuan belajar serta mendorong pebelajar terlibat dalam kegiatan penilaian.
3.      Pembelajar sebagai perantara
Pada saat berbagi pengetahuan dan otoritas antara pebelajar dan pembelajar, peran pembelajar lebih menekankan pada mediator belajar. Keberhasilan bantuan belajar ini akan membantu pebelajar mengkaitkan pengetahuan baru terhadap pengalamannya serta dalam mempelajari bidang-bidang lain. Dengan demikian, pebelajar akan memperoleh manfaat besar atas pengalaman belajarnya yang memungkinkan pengalaman belajar fungsional di masyarakat. Selain itu, tugas pembelajar juga membantu pebelajar menjelaskan tentang apa yang dapat dilakukan pada saat mereka (para pebelajar) mengahadapi kebingungan dan membantu mereka belajar bagaimana mempelajari sesuatu. Yang terpenting, pembelajar sebagai mediator menyesuaikan tingkat pengetahuan dan membantu semaksimal mungkin kemammpuan untuk bertanggung jawab terhadap belajar.
4.      Pengelompokan pebelajar secara heterogen
Berbagai pustaka memberikan saran-saran dan telah memberikan tekanan bahwa kelompok seyogyanya heterogen bila memungkinkan (Cooper,1990;Johnson,et al.,1998; Nurrenbern,1995; Slavin,1995). Rasionalnya, agar tercipta lingkungan kelompok yang lebih beragam berkaitan dengan latar belakang,gagasan,suku atau kelompok ras,dan jenis kelamin. Pengelompokan pebelajar atau pebelajar  secara heterogen ini akan memberikan gambaran atau wawasan,pengalaman,dan latar belakang kepada pebelajar,perihal ini sangat penting untuk memperkaya belajar mereka dalam kelas. Manakala pembelajaran berlangsung di luar kelas yang menuntut pemahaman beragam,pembelajar perlu memberikan kesempatan kepada pebelajar untuk melakuakn hal tersebut dalam berbagai konteks. Dalam pembelajaran kolaboratif, pebelajar terlibat secara aktif dalam latihan berpikir, setiap pebelajar belajar dari pebelajar dari pebelajar lain, dan tak seorangpun pebelajar kehilangan kesempatan untuk saling memberi kontribusi dan melakukan aspresiasi satu sama lain.
5.      Pembelajaran kolaborasi bersifat kontinum
Pembelajaran kolaborasi dapat juga kita pahami sebagai suatu ikatan atau jalinan kerja sama yang bersifat kontinum yang mencakup empat komponen (Bonwell and Sutherland,1996). Keempat komponen itu meliputi :
a.       Mulai tugas yang sederhana menuju ke kompleks
Tugas sederhana biasanya bersifat kurang terstruktur dan sangat terbatas, sehingga mudah dipelajari dan waktu penyelesainnya pun hanya memerlukan beberapa jam saja. Sedangkan, tugas yang kompleks lebih terstruktur dan sulit sehingga dalam mempelajari atau menyelesaikan memerlukan waktu penyelesaian yang lebih luas. Tugas kompleks ini mungkin dapat berlangsung selama beberapa hari, minggu, dan bahkan selama satu periode.
b.      Tujuan bahan dari pemerolehan pengetahuan menuju ke pemerolehan keterampilan dan sikap.
Pemerolehan pengetahuan merujuk pada penguasaan konsep-konsep dan fakta-fakta. Sedangkan, pemerolehan keterampilan dan sikap merujuk pada suatu apresiasi bagaimana suatu bahan atau materi berdampak terhadap kehidupan sehari-hari dalam situasi praktis.
c.       Interaksi dalam kelas, dari yang terbatas menuju ke meluas.
Tingkat interaksi antara pebelajar dan pembelajar dan antar pebelajar tergantung kepada preferensi pembelajar, kepribadian, dan kebutuhan untuk melakukan pengendalian. Proses-proses dalam kelas tidak hanya terbatas dalam cakupan isi bahan kajian yang tertera dalam dokumen kurikulum tetapi lebih pada cakupan pengalaman belajar di luar kelas. Dengan demikian, interaksi pembelajarn lebih bersifat multidimensional artinya membuka peluang kepada pebelajar untuk berinteraksi dengan sumber-sumber diluar kelas, apakah teman sebaya, masyarakat, organisasi, dan lain sebagainya.
d.      Tingkat pengalaman pebelajar:dari yang kurang berpengalaman menuju ke yang berpengalaman.
Proses pembelajaran kolaborasi memiliki anggota yang heterogen. Para anggota kelompok terdiri atas berbagai kelas sosial. Heterogenitas kelompok ini juga melibatkan pebelajar yang kurang memiliki pengetahuan dan pengalaman, sehingga mereka yang telah menguasai pengetahuan dan pengalaman tersebut dapat berbagi sesamaanggota kelompok. Dalam proses pembelajaran terjadi saling membelajarkan antar anggota.
Ciri-ciri khusus aktivitas kelompok dengan tingkat struktur yang berbeda-beda (Millis & Cottel,1998) tersebut mencakup:
1.      Tugas yang lebih terstruktur
Aktivitas-aktivitas yang lebih terstruktur lebih sering dilakukan pada saat awal terutama bagi pebelajar yang belum berpengalaman yang biasanya masih belum merasa belum nyaman dalam lingkungan belajar yang baru. Tugas yang lebih terstruktur memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a.       Tujuan dan tugas sudah pasti
b.      Evaluasi sementara, misalnya berupa kuis atau ringkasan
c.       Peran kelompok ditentukan oleh pembelajar
d.      Proses-proses kelompok dilakukan pada waktu tertentu
e.       Metode berkenaan dengan bagaimana menyelesaikan tugas dibatasi.
2.      Kurang terstruktur
Aktivitas-aktivitas ini kemudian semakin kurang terstruktur sejalan dengan perkembangan atau pengalaman belajar pebelajar. Ciri-ciri tugas yang kurang terstruktur yakni :
a.       Tujuan tidak didefinisikan dengan baik atau didefinisikan berdasarkan kelompok (luas)
b.      Balikan tidak bersifat formal
c.       Kelompok menentukan bagaimana kerja sama dan jika ada apa peran-peran kelompok yang seharusnya dilakukan
d.      Pengelompokan dilakukan sendiri oleh kelompok
e.       Tidak ada cara tertentu untuk menyelasaikan tugas.

3 Keunggulan Kerja Kolaborasi

Hasil penelitian menunjukkan keunggulan pembelajaran kolaboratif, diantaranya dapat meninggikan hasil belajar kelompok dan individu yang lebih mengarah pada metakognatif, munculnya ide–ide baru  dan pendekatan penyelesaian masalah yang sebenarnya di ketengahkan. Selain itu kelas yang dikelola secara kolaboratif lebih termotivasi, mempunyai sifat ingin tahu, ada perasaan membantu orang lain, berkompetisi secara sehat dan bekerja secara individu lebih terarah. Ada beberapa keunggulan yang dapat diperoleh melalui  pembelajaran kolaborasi. Keunggulan-keunggulan pembelajaran kolaborasi tersebut menurut Hill & Hill (1993) berkenaan dengan :
1.      Prestasi lebih Tinggi
Aliran dan pendekatan kognitif telah memandang bahwa kecerdasan sebagi karakteristik atau menjadi cirri-ciri khusus individual. Teori-teori yang lebih mutakhir juga memberi perhatian banyak dan memberikan tekanan pada pengembangan kecakapan social seseorang. Selain memandang kecerdasan bersifat individual, teori baru tersebut melihat sebagai suatu proses dimana individu mengkontruksi dan mengorganisasi tindakan bersama berdasarkan lingkungannya. Doise dan Mugny (1984) telah melakukan penelitian yang mendukung anggapan bahwa interaksi social benar-benar memberikan arahan bagi kemajuan perkembangan kognitif. Penelitian terdahulu yang dilakukan (misalnya, Johnson & Johnson, 1981) menunjukkan adanya bukti empiric yang besar sekali bahwa pengalaman belajar secara kooperatif dapat meningkatkan prestasi akademik lebih tinggi daripada pengalaman belajar individual dan belajar kompetitif. Kedua pakar diatas telah melakukan penelitian terhadap sebanyak 26 kelas yang mencakup data prestasi belajar  pada pebelajar tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah dengan kemampuan dan usia yang beragam serta cakupan bidang kurikulum yang cukup banyak. Kesimpulan, pengalaman belajar kooperatif meningkatkan prestasi belajar lebih tinggi daripada pengalaman belajar individual dan kompetitif. Teori yang lebih mutakhir, berdasarkan hasil penelitian dan bukti eksperimen semua menyarankan bahwa jika sekolah-sekolah ingin memberikan perkembangan kecerdasan secara optimal bagi para pebelajarnya, meningkatkan hubungan sosial diantara pebelajarnya, maka pebelajar itu perlu dilibatkan secara sungguh-sungguh dalam berbagai jenis aktivitas kooperatif. Dengan demikian membelajarkan keterampilan belajar kolaborasi, manajemen dan organisasi kelompok akan menjadi lebih penting daripada hanya membelajarkan dan menanamkan pengetahuan saja.
2.      Pemahaman yang lebih Mendalam
Pembelajaran kolaborasi yang dilakukan mulai di tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi memberikan kepada para pebelajar latihan-latihan bekerja sama dalam kelompok untuk memecahkan sebuah masalah. Kita kadangkala menghadapkan para pebelajar dengan berbagai masalah atau ide dan menuntut mereka memadukan ide-ide atau gagasan tersebut melalui suatu kerja kolaborasi. Perihal ini memerlukan perhatian sungguh-sungguh dan secara terus-menerus memotivasi mereka belajar melalaui kegiatan atau aktivitas kerja sama dan sama-sama kerja. Bentuk interaksi yang digambarkan dalam suasana kerja sama secara transaksional diantara pebelajar merupakan ciri kelas kolaborasi. Suasana pembelajaran kooperasi atau kolaborasi berbeda dengan kelas-kelas konvensional-tradisional yang dikelola secara ketat, yang ditandai suasan diam dan sangat teratur (Diaz, Pelletier, & Provenzo, Jr, 2006).
3.      Belajar lebih menyenagkan
Pebelajar baik yang masih muda belia maupun yang sudah dewasa sama-sama belajar lebih banyak dan merasa senang apabila mereka terlibat dalam situasi belajar kooperasi dan kolaborasi. Pengalaman pribadi kita sendiri tentulah menjadi contoh tentang situasi tersebut. Hal yang paling penting kita sadari bahwa dalam kerja sama atau kooperasi, melakukan komunikasi dan bertukar ide sesame kelompok sebaya tersebut akan menimbulkan merasa senang. Mereka (para pebelajar) benar-benar dituntut memiliki keterampilan social dalam aktivitas kerja sama sewaktu mereka diminta mempertahankan keutuhan pasangan atau kelompok.
4.      Mengembangkan Keterampilan Kepemimpinan
Pembelajaran kolaborasi memberikan kesempatan yang secara terus menerus kepada para pebelajar bagi penegmbangan keterampilan kepemimpinan (leadership skill) dan kerja kelompok. Pebelajar dengan pengalaman-pengalaman semacam ini akan lebih mampu memahami pandangan orang lain dan memiliki keterampilan berinteraksi lebih baik dengan orang lain daripada pebelajar dalam  situasi kompetisi dan individualistic(Johnson & Johnson,1987).
5.      Meningkatkan Sikap Positif
Hasil penelitian menunjukkan bahwa apabila lingkungan distruktur untuk member kemungkinan pebelajar bekerja sama secara kooperatif, mereka akan lebih bersikap positif terhadap sekolahnya, mata ajaran dan terhadap pembelajarannya. Lebih jauh , dalam aktivitas kelompok tanpa melihat perbedaan latar belakang kemampuan dan etnis, pebelajar bersikap lebih positif terhadap  yang lain setelah mereka bekerja sama secara kooperatif daripada mereka yang belajar dalam situasi lingkungan yang distruktur secara kompetitif dan individual. Lingkungan belajar kooperatif juga mendorong harapan-harapan yang lebih positif tentang kerja samanya dengan orang lain dan berperan serta dalam menyelesaikan perbedaan-perbedaan (Cooper dkk.,1980; Johnson & Johnson 1987).
6.      Meningkatkan Harga Diri
Ada bukti penelitian yang menunjukkan bahwa lingkungan belajar kooperatif dapat meningkatkan harga diri pebelajar lebih tinggi daripada struktur situasi belajar tradisional (konvensional). Norem-Hebeison dan Johnson (1981) juga menemukan bahwa pengalaman belajar kooperatif meningkatkan proses yang lebih menyehatkan daripada hasil pengalaman sendiri, dan bahwa sikap terhadap kerja sama cenderung berkaitan dengan penerimaan diri sendiri dan penilaian diri yang positif. Dalam aktivitas pembelajaran kolaborasi, setiap anggota kelompok memiliki kesempatan brbicara dan setiap pandangan mendapatkan penghargaan. Situasi seperti ini dapat meningkatkan citra dan percaya diri individu pebelajar sehingga ia merasa dihargai. Sebaliknya, situasi kompetititf cenderung berkaitan dengan penerimaan diri yang kondisional, dan sikap positif terhadap situasi individulistik cenderung pada penolakan diri.
7.      Belajar lebih Inklusif
Belajar bersama, yang melibatkan pihak lain (inklusif) dalam kelompok belajar kooperatif dan menetapkan lingkungan kelas kolaboratif secara aktif meningkatkan kepedulian dan penghargaan pada pihak lain. Situasi kolaborasi dapat mengembangkan hubungan atau interaksi positif dalam dan antar kelompok sebaya (inklusif), cara-cara mengkomunikasikan gagasan atau ide dan yang paling penting adalah persepektif terhadap orang lain mudah dipahami. Dalam situasi kelompok, setiap pandangan dan pendapat dari setiap anggota (tanpa melihat asal usul) mendapatkan respon dari anggota kelompok lain. Berkenaan dengan hal-hal diatas, pengalaman pembelajaran melalui aktivitas kolaborasi dapat dipakai untuk mngembangkan kesadran dan meningkatkan sikap, misalnya menghargai, kepedulian social, empatik dan seterusnya. Kegiatan pembelajaran ini di arahkan untuk menanamkan kebiasaan-kebiasaan (habits) untuk memahami apa yang dipelajari, sikap ingin melakukan sesuatu, dan keterampilan bagaimana melakukan sesuatu. Hal ini sejalan dengan pandangan (Covey,dalam Medsker & Holdsworth,2001) yang menyatakan bahwa sikap mencakup tiga hal pokok, yaitu : 1) pengetahuan atau knowledge (the what,where,when,and why), 2) sikap atau attitudes (the want to), dan 3) keterampilan atau  skill (the how to).
Belajar kolaborasi secara inklusif sangatlah penting apabila pebelajar di dalam kelas berasal dari latar belakang yang berbeda-beda dan memiliki tingkat kemampuan yang luas. Keberhasilan pemaduan pebelajar luar biasa dalam kelas regular atau konvensional menuntut usah-usaha yang bersifat kolaboratif. Pebelajar dengan kemampuan khusus dapat berperan aktif dalam kelas apabila di dalam situasi kelas yang bekerja secara aktif  mau menerima kehadiran mereka yang berasl dari kelompok luar biasa. Belajar kolaborasi juga memiliki implikasi sangat penting dalam pengembangan hubungan saling menguntungkan dan pemahaman lebih baik antara pebelajar laki-laki dan perempuan (gender). Pembelajaran kolaborasi ini merupakan sarana yang ampuh untuk mengembangkan karakteristik manusia sesuai dengan yang diinginkan, karerna pebelajar belajar melalui kelompok (student-team learning). Pembelajaran kolaborasi dan kooperatif merupakan suatu prosedur pembelajaran dalam hal ini para pebelajara belajar bersama secara berkelompok dan diarahkan untuk mencapai tujuan secara kolektif ( Cruickshank, Jenkins & Metcalf, 2006). Belajar bersama, bekerja melakukan peran-peran sama dalam kelompok dan memecahkan persoalan dengan cara kooperatif meningkatkan harga diri setiap orang karena semua pebelajar dan kooperatif meningkatkan harga diri setiap orang karena semua pebelajar dan pembelajarannya memiliki peran yang sama dan berarti.
8.      Rasa Saling Memiliki
Ada beberapa pebelajar yang tidak memiliki sarana-sarana sosialisasi positif sehingga kondisi ini mungkin tidak sesuai dengan prestasi belajar individu. Situasi belajar seperti ini hanya terdapat dalam lingkungan belajar tradisional ini hanya akan memperoleh kemajuan akademik yang kecil. Bahkan mereka tidak dapat meningkatkan motivasi belajarnya dan mungkin juga merasa tertekan perasaan dan harga dirinya. Mereka terjebak dalam apa yang disebut a self-defeating cycle; untuk memenuhi kebutuhan pengakuan dan rasa memiliki mereka berbuat kacau dan kemudian melakukan suatu perlawanan yang akhirnya mengarah pada masalah perilaku. Sebagai kemungkinana lain, mereka cenderung menarik diri dan mudah menyerah (withdrawal dan give up). Sebaliknya, lingkungan belajar kolaborasi memiliki sejumlah potensi untuk mengatasi hal-hal diatas. Pembelajaran kolaborasi ini memberikan pemenuhan bagi kebutuhan setiap pebelajar baik kebutuhan pengakuan harga diri dan rasa memiliki melalui pelibatan mereka dalam berbagai kegiatan yang bermanfaat. Mereka mengemukakan pendapat,gagasan,saling menghargai, terbuka, dan lebih menekankan cirri kebersamaan untuk mencapai Sharing goals.
9.      Keterampilan Belajar Masa Depan
Latihan-latihan keterampilan atau kecakapan hidup (life skills) perlu diberikan kepada pebelajar sejak awal atau sedini mungkin. Latihan hidup bersama dengan orang lain atau aktivitas bersama, yaitu melalui situasi atau lingkungan belajar kolaborasi. Keterampilan hidup bersama di sekolah sangat diperlukan. Tujuan latihan keterampilan hidup bersama di kelas ini memberikan bukan hanya pada saat pebelajar berada di kelas atau sekolah saja, tetapi juga untuk penyiapan keberhasilan di lingkungan kerja dan bergaul bersama anggota keluarga di rumah. Pebelajar diberikan latihan keterampilan hidup bersama melalui kerja kolaborasi. Kerja kolaborasi ini untuk menyiapkan pebelajar melalui latihan pemecahan masalah baik masalah akademik maupun masalah kontekstual. Kita menyadari bahwa kehidupan pebelajar di kelas tidak dapat dilepaskan dari pebelajar lain, mereka saling tergantung satu sama lain, bekerja sama dan membangun suasana kebersamaan. Melalui suasana kehidupan di dalam kelas inilah, kita siapkan kehidupan pebelajar memasuki kehidupan masa depannya.
 Dalam kerja kolaboratif, pebelajar berbagi tanggung-jawab yang digambarkan dan yang disetujui oleh tiap anggota. Persetujuan itu meliputi (1) kesanggupan untuk menghadiri, kesiapan dan tepat waktu untuk memenuhi kerja tim, (2) diskusi dan perselisihan paham memusatkan pada masalah yang dipecahkan dengan menghindarkan kritik pribadi, dan (3) ada tanggung jawab tugas dan menyelesaikannya tepat waktu. Pebelajar boleh melaksanakan tugas, sesuai dengan pengalaman mereka sendiri meskipun sedikit pengalaman dibanding anggota lainnya yang penting dapat berpikir jernih/baik sesuai dengan kapabilitasnya. Peran-peran yang harus dihindari oleh pebelajar adalah (1) free-rider, yaitu membiarkan teman-temannya melakukan tugas tim, tanpa berusaha ikut serta memberikan kontribusi dalam proses kolaborasi, (2) sucker, yaitu tidak ikut serta memberikan kontribusinya karena tidak bersedia membagi pengetahuan yang dimilikinya, (3) mendominasi, yaitu menguasai jalannya proses penyelesaian tugas, sehingga kontribusi anggota tim yang lain tidak optimal, (4) ganging up on task, yaitu cenderung menghindari tugas dan hanya menunjukkan sedikit usaha untuk menyelesaikannya. Dalam pembelajaran kolaborasi, pembelajar tidak lagi memberikan ceramah di depan kelas, tapi dapat berperan seperti (1) fasilitator, dengan menyediakan sarana yang memperlancar proses belajar; mengatur lingkungan fisik, memberikan atau menunjukkan sumber-sumber informasi, menciptakan iklim kondusif yang dapat mendorong pebelajar memiliki sikap dan tingkah laku tertentu, dan merancang tugas; (2) model, secara aktif berupaya menjadi contoh dalam melakukan kegiatan belajar efektif, seperti mencontohkan penggunaan strategi belajar atau cara mengungkapkan pemikiran secara verbal (think aloud) yang dapat membantu proses konstruksi pengetahuan; (3) pelatih (coach), memberikan petunjuk, umpan balik, dan pengarahan terhadap upaya belajar pebelajar. Pebelajar tetap mencoba memecahkan masalahnya sebelum memperoleh masukan pengajar.

4 Peran Pembelajar dalam Pembelajaran Kolaborasi

McCahon & Lavelle, (1998) menyarankan agar dalam collaborative learning, kelas dibagi ke dalam beberapa tim dan tiap tim ditugasi untuk melakukan riset sederhana, kemudian dievaluasi dan didiskusikan kembali di dalam kelas. Tim yang dimaksud adalah: “a group of two to five students who are tied together by a common purpose to complete a task and to include every group member” (Dishon dan O’Leary, 1994). Dalam konteks ini, Benne and Seats (1991) menegaskan bahwa premis mayor dalam suatu tim adalah bahwa setiap orang dalam tim tersebut harus berfungsi sebagai pemain yang kolaboratif dan produktif untuk menuju tercapainya hasil yang diinginkan. Dengan sangat menekankan pentingnya kohesivitas, Duin, Jorn, DeBower, dan Johnson (1994) mendefinisikan “collaboration” sebagai suatu proses di mana dua orang atau lebih merencanakan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi kegiatan bersama. Konsep “tim” dengan segala aspeknya ini harus benar-benar dipahami oleh pebelajar. Kurangnya pemahaman tentang konsep ini dapat berakibat kurangnya kesadaran akan pentingnya kerjasama, tidak dapat memprioritaskan tujuan tim daripada tujuan individu, dan pada gilirannya dapat berakibat berbuat kesalahan dalam menyelenggarakan pertemuan, mengabaikan batas waktu penyelesaian pekerjaan tim, kurang penuh dalam bertanggungjawab, serta kurang dapat bekerja secara efisien (Ravenscroft dan Buckless,1995). Kita sepakat bahwa pembelajar memiliki peran yaitu menjadi perantara (mediator) belajar melaui dialog dan kolaborasi. Yang dimaksud sebagai perantara adalah penyampai informasi melalui interaksi timbal balik diantara pebelajar. Perantara dalam hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Feuerstein, Jensen,(1980); Vygotsky(1986), dan Tinzmann, Jones, Fennimore,Bakker,. Fine, dan Pierce (1990) yang mendefinisikan mediasi sebagai facilitating,modeling,and coaching. Hal-hal apa  yang penting mencakup perilaku-perilaku, yaitu : 1)mendorong pembelajaran dalam kelas kolaboratif, 2) memiliki tujuan-tujuan khusus dalam konteks kolaboratif. Peran pembelajar dalam pembelajaran kolaborasi yakni :
1.      Memfasilitasi ( Facilitating)
Pembelajaran merupakan suatu upaya untuk memfasilitasi atau memudahkan belajar pebelajar dalam rangka mencapai tujuannya. Kemudahan ini mencakup penciptaan lingkungan dan kegiatan yang kaya untuk mengkaitkan antara pengalaman baru diterima atau telah dimiliki oleh pebelajar dan pengetahuan sebelumnya (prior knowledge). Di samping itu, tugas pebelajar juga memberikan keragaman kesempatan untuk kerja kolaborasi, dan pemecahan masalah, dan memeberikan kepada pebelajar berbagai tugas-tugas belajar secara autentik. Hal ini pertama kali menuntut perhatian pada lingkungan fisik yang ada. Disamping itu, pembelajar perlu menata   atau menstruktur sumber-sumber dalam kelas untuk memberikan beberapa ragam dan wawasan yang selanjutnya untuk dipakai dan menciptakan karya budaya berdasarkan pengalaman belajar di rumah, masyarakat, serta untuk mengorganisasikan variasi aktivitas belajar. Dengan demikian, suatu pembelajaran kolaborasi sering memiliki keragaman tugas-tugas atau pusat aktivitas yang menggunakan objek-objek keseharian untuk merepresentasikan informasi numerikal dalam cara-cara yang bermakna (meaningful ways) dan untuk melakukan percobaan guna memecahkan masalah nyata.
Fasilitasi dalam pembelajaran kolaborasi juga dapat melibatkan orang lain. Di dalam kelas, pebelajar diorganisasi menjadi kelompok heterogen dengan peran-peran yang berbeda-beda misalnya pemimpin kelompok (team leader), pemberi dorongan atau semangat (encourager) menyatakan kembali tugas yang diberikan (reteller), perekam atau pencatat hasil(recorder), dan juru bicara kelompoknya(spokesperson). Cara lain yang dapat dilakukan oleh guru dalam memfasilitasi belajar klaborasi adalah dengan menetapkan kelas menurut struktur kelas yang berbeda tetapi fleksibel. Tujuannya untuk meningkatkan perilaku kelas dengan mempertimbangkan kesesuaian untuk melakukan komunikasi dan kolaborasi diantara pebelajar. Untuk memfasilitasi interaksi kelompok yang bermutu tinggi, pembelajar mungkin perlu mengajarkan kepada pebelajar dan berikutnya para pebelajar perlu mempraktekkan, kaida-kaidah dan fungsi untuk interaksi dalam kelompok. Akhirnya, para pembelajar untuk memfasilitasi belajar kolaborasi dilakukan dengan cara menciptakan tugas-tugas belajar yang mendorong keberagaman, tetapi yanng diarahkan untuk mencapai standart kinerja tinggi bagi seluruh pebelajar. Tugas-tugas ini melibatkan pebelajar dalam proses berpikir tingkat tinggi misalnya melalui pengambilan keputusan dan pemecahan masalah (problem solving) yang paling baik melalui kolaborasi.
2.      Memberi Contoh ( Modelling)
Pemberian contoh (modelling) menekankan adanya sharing pikiran dan mendemonstrasikannya atau menjelaskan sesuatu. Dalam suatu kelas kolaborasi, modelling ini berfungsi untuk melibatkan para pebelajar untuk melakukan kerja sama bukan hanya memikirkan isi bahan yang dipelajarinnya, tetapi juga melibatkan dalam proses komunikasi dan belajar berkolaborasi. Berkenaan dengan isi yang di pelajari, pembelajar mungkin perlu mengungkapkan melalui kata-kata tentang proses berpikir yang mereka gunakan untuk membuat prediksi tentang suatu eksperimen ilmiah, membuat ringkasan sebuah gagasan dalam bentuk kalimat, menjelaskan arti kata-kata yang tidak dikenal, menyajikan dan memecahkan masalah, mengorganisasi informasi yang sangat kompleks, dan seterusnya. berkaitan dengan proses kelompok, pemeblajar mungkin melakukan sharing pikiran, peran-peran, aturan-aturan dan melakukan kerja sama dalam kelas. Misalnya, mengammbil peran sebagai piminan kelompok, pembelajar memberikan contoh (model) berkenaan dengan hal-hal bagaimana mengelola waktu berkelompok, bagaimana mencapai konsensus, bagaimana berkomunikasi yanng efektif dalam berkelompok, bagaimana merancang suatu pendekatan untuk memecahkan masalah dan sebagainya.
3.      Memberi Arahan (coaching)
Dalam pembelajaran kolaborasi, peranan pembelajar di awal kegiatan sangat penting. Guru atau pembelajar menjadikan dirinya panutan bagi pebelajar sehingga mereka (pebelajar) akan mampu melakukan aktivitas secara mandiri dalam bingkai kerja sama dan sama-sama kerja. Setidaknya prinsip-prinsip pendidikan ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani merupakan landasan pendidikan yang masih perlu dijadikan pijakan bagi tegaknya pilar pendidikan bagi warga bangsa ini. Memberikan arahan tidak berarti semata-mata tidak memberikan kepercayaan dan tanggung jawab bagi pebelajar. Arahan ini sekaligus merupakan bentuk latihan tanggung jawab bagi pebelajar. Latihan mencakup pemberian petunjuk, pemberian balikan,mengarahkan kembali usaha-usaha pebelajar, dan membantu pebelajar menggunakan strategi. Prinsip pokok pengarahan adalah ingin memberikan bantuan yang tepat kepada pebelajar apabila diperlukan, apakah banyak atau sedikit sehingga mereka tetap memiliki komitmen tanggung jawab bagi belajar mereka sendiri.

5 Prinsip-prinsip Belajar Kolaborasi

Pembelajaran kolaborasi menekankan adanya prinsip-prinsip kerja. Prinsip-prinsip penting yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran kolaborasi tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Setiap anggota melakukan kerja sama untuk mencapai tujuan bersama dan saling ketergantungan.
2.      Individu-individu bertanggung jawab atas dasar belajar dan perilaku masing-masing.
3.      Keterampilan kooperatif dibelajarkan, dipraktekkan dan balikan (feedback) diberikan berdasrkan bagaimana sebaiknya latihan keterampilan tersebut diharapkan.
4.      Kelas atau kelompok didorong ke arah terjadinya pelaksanaan suetu aktivitas kerja kelompok yang kohesif.
Strategi-strategi pembelajaran kolaborasi yang berkaitan dengan prinsip-prinsip tersebut di atas, diterapkan dengan berdasarkan pada adanya saling hubungan satu sama lain, atau dilakukan dengan menerpkan secara berulang ( a cyclical way), misalnya latihan keterampilan kolaboratif atau kooperatif akan kekohesifan dan tanggung jawab.

6 Keterbatasan Pembelajaran Kolaboratif atau Kooperatif

Pembelajaran kolaboratif atau kooperatif memang memiliki sejumlah keuntungan, tetapi pembelajaran ini bukan berarti tidak memiliki keterbatasan-keterbatasan. Keberhasilan pembelajaran kolaborasi atau kooperasi sangat tergantung pada sejumlah kondisi menurut Cruickshank,Jenkins, & Metcalf (2006) yakni ada lima kondisi :
1.      Hasil-hasil penelitian telah menunjukkan bahwa suatu aktivitas pembelajaran kooperatif berhasil, para anggota tidak cukup hanya memberikan jawaban secara sederhana tentang tugas, tetapi yang paling penting mereka harus menjelaskan bagaimana mereka memperoleh jawaban dan mengapa jawaban tersebut benar( Slavin,2002).
2.      Setiap Individu anggota kelompok memiliki tanggung jawab terhadap kelompoknya. Adanya suatu ekspresi bahwa harapan satu untuk semua,the one for all, tidak atau belum terbiasa di milki oleh pebelajar. Dengan demikian kondisi yang diharapkan dalam situasi kerja kolaborasi adalah adanya tanggung jawab dari setiap anggota tersebut saling bergantung satu sama lain.
3.      Agar supaya terjadi kerja kelompok atau situasi belajar kooperatif, setiap anggota harus setia pada tugas (stay on task), karena waktu yang diurahkan untuk menunaikan tugas-tugas tersebut secara konsisten berkaitan dengan hasil belajar pebelajar. Sebaliknya, para pebelajar cenderung mengabaikan tugas-tugas manakala pemeblajara tidak “hadir” dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, dalam situasi pembelajaran kolaborasi atau koopperasi kehadiran pembelajaran sangat penting untuk memonitor kerja individu dan kelompok secara teratur selama kegiatan berlangsung.
4.      Dalam setiap kelompok setiap anggota tergantung satu sama lainnya. Dalam proses pembelajaran, pastilah ada pebelajaran tertentu yang menghadapi atau mengalami suatu kesulitan. Apabila terjadi kondisi semacam ini, dalam hal ini pebelajar tidak bekerja dengan baik atu tidak mampu menyelesaikan tugasnya. Brophy dan Good (dalam Cruickshank,dkk.,2006) mengingatkan bahwa bentuk pembelajaran kellompok kecil lebih sulit daripada mengajar kepada kelompok besar atau kelas karena kita akan banyak menghadapi berbagai persoalan manajemen.
5.      Menurut Biemiller (1993) bahwa pengaturan pembelajaran yang mendorong para pembelajara memberikan bantuan kepada yang lain dan pihak lain menerimanya memungkinkan untuk meningkatkan adanya saling ketergantungan. Andaikan kondisi ini tidak terjadi, yaitu tidak adanya saling ketergantungan maka kerja kelompok tidak akan terwujud dan hasilnya tidak produktif lagi.
Sumber:

Setyosary, Punaji. 2009. Pembelajaran Kolaborasi. Malang:Departemen Pendidikan Nasional.
 Raharjo, Kurniawan B. 2013. Model Pembelajaran Kolaboratif. http://kurniawanbudi04.wordpress.com/2013/05/27/collaborative-learning/. [25 November 2014].
              . 2013. Model Pembelajaran Kolaborasi. http://www.asikbelajar.com/2013/05/model-pembelajaran-kolaborasi.html. [24 November 2014].
 

Blogger news

Blogroll

About