Peranan Amerika dalam
Pembentukan Negara Indonesia
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Amerika
Dosen Pengampu Dr. Suranto, M.Pd.
Tugas
Individu
Oleh:
Harits Al Ayyubih
120210302013
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN
SEJARAH
UNIVERSITAS JEMBER
2014
Prakata
Puji syukur
kehadirat Allah Swt. Atas segala rahmat dan karunai-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah “Peranan
Amerika dalam Pembentukan Negara Indonesia”yang merupakan salah satu dari komponen nilai tugas individu mata
kuliah Sejarah Amerikapada Progam Studi Pendidikan
Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas jember.
Penulis juga menerima segala kritik dan saran dari semua pihak
demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya
penulis berharap, semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Jember, 8 Mei 2014
Penulis
Daftar
Isi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tidak dapat dipungkiri bahwa Amerika
Serikat merupakan negara super power ataudapat disebut sebagai negara adidaya
hingga saat ini.Negara dengan sistem pemerintahan republik federal ini telah
menjadi negara yang memiliki kekuatanmiliter, ekonomi, dan memiliki kekuatan
politik serta teknologi yang tinggi. Pasca-Perang Dunia II dan Perang Dingin,
negara yang sering disebut Negeri Paman Sam initerus maju menjadi negara yang
menguasai perindustrian, bahkan pengaruh negara inisemakin luas hingga menjadi
pusat teknologi dunia setelah pecahnya perang dinginantara Blok Barat dan Blok
Timur. Dan setelah Uni Soviet sebagai Blok Timurmengalami keruntuhan, Amerika
Serikat sebagai Blok Barat secara otomatis atau saatitu juga menduduki posisi
tertinggi yaitu sebagai satu-satunya negara adidaya di dunia.
Amerika turut terlibat dalam masalah
perpolitikan setelah Indonesia merdeka.Hal ini dikarenakan Presiden pertama
Indonesia yaitu Ir. Soekarno telah dianggap condong ke Blok Timur yang
merupakan musuh dari Amerika.Amerika melakukan berbagai caea untuk dapat
membundung ideologi ini akan menyebar keseluruh Indonesia. Negara Indonesia
adalah yang paling memiliki kekuatan pada saat itu di Asia Tenggara sebab
Indonesia negara yang sangat kaya dengan sumber daya alam dan posisi Indonesia
yang strategis di dunia.
Amerika terlibat dalam masalah perpolitikan
Indonesia terlihat setelah Indonesia merdeka yaitu terjadinya pemberontakan PKI
di Madiun.Amerika juga sangat menginginkan atau menyingkirkan Presiden Soekarno
karean telah dianggap condong ke Blok Barat.Hal ini membuat Amerika sangat
geram.Dalam upaya menggulingkan Presiden Soekarno Amerika turut terlibat dalam
pemberontakan PRRI/PERMESTA melalui CIA.Keterklibatan Amerika tidak berhenti
dalam hal itu saja namun dalam permasalahan pembebasan Irian Barat, Gerakan 30
September, dan lepasnya Timor Timur. Berbagai keterlibatan Amerika dalam
perpolitikan Indonesia akan dibahas lebih lanjut dalam Bab II.
1.2
Rumusan
Masalah
1) Bagimana awal Keterlibatan Amerika dalam
perpolitikan di Indonesia ?
2) Bagaimana keterlibatan Amerika di Indonesia
?
3) Bagaimana hubungan Amerika – Indonesia masa
sekarang ?
1.3
Tujuan
1) Mengetahui awal keterliban Amerika dalam
berbagai urusan negara perpolitikan di Indonesia
2) Mengetahui keterlibatan Amerika di Indonesia
3) Mengetahui hubungan Amerika-Indoensia pada
masa sekarang
BAB
II PEMBAHASAN
2.1
Awal Keterlibatan Amerika di Indonesia
Perhatian AS terhadap Indonesia sangat besar
sejak sebelum Perang Dunia II disebabkan letaknya yang sangat strategis dan
kandungan kekayaan alamnya yang luar biasa.Sebab itu,
menjadikan Indonesia sebagai “wilayah yang bersahabat” dipandang sangat penting
bagi AS. George F. Kennan, Direktur Policy Planning Staff (PPS), pernah berkata
kepada Menteri Luar Negeri AS George C. Marshall pada 17 Desember 1948,
“Persoalan paling penting dalam pergulatan kita dengan Kremlin sekarang adalah
persoalan Indonesia.
Untuk
itu AS pun membangun basecamp nya dibeberapa titik :
·
Pada 8 September 1951, AS mendirikan pangkalan
militer di Okinawa-Jepang
·
Pangkalan Clark dan Subic di Philipina berdiri
pada 30 Agustus 1951
·
ANZUS
(Australia, New Zealand, and AS) berdiri pada 1 September 1951
·
Korea
Selatan pada 1 Oktober 1953
·
Taiwan
pada 2 Desember 1954.
Sejak Indonesia merdeka pada 1945, maka Amerika
Serikat sudah mulai terlibat dalam berbagai hal, terutama perpolitikan di
Indonesia.Pada awal kemerdekaannya, Indonesia sangat didukung oleh AS.Hal ini
terutama disebabkan rasa simpati AS terhadap Indonesia karena AS pun pernah
dijajah oleh Inggris dan AS sangat menentang kolonialisme.Namun dalam
perkembangannya sikap AS mulai berbalik dan secara diam-diam presiden AS kala
itu Harry Truman mendukung kembalinya Belanda untuk berkuasa di Indonesia.
AS berkepentingan langsung untuk turut campur
tangan dalam menentukan masalah dalam negeri Indonesia bermula tiga tahun
setelah Indonesia merdeka pada 1945.Adalah konflik senjata yang meletus di
Solo, Jawa Tengah dan Madiun, Jawa Timur, pada 1948, yang menyeret langsung AS
untuk turun tangan. Sebagai bagian dari pengaruh perang dingin antara dua kutub
kekuatan dunia: AS di blok Barat dan US di blok Timur, setelah merambah daratan
Eropa, kemudian yang menjadi medan pertarungan adalah kawasan Asia Tenggara.
Indonesia yang memiliki kekayaan alam berlimpah
dan geografisnya begitu strategis, menjadi pertimbangan khusus bagi kebijakan
Pemerintahan Harry Truman. Belum lagi, pasca Perang Dunia II, konflik yang
merebak di Burma, Singapura, Thailand dan Malaysia dengan sponsor dari blok
Komunis, membuat AS dengan “politik pembendungannya” (containment policy)
merasa cemas jika Indonesia pun menjadi
sulit dikontrol dan akhirnya masuk dalam orbit negara-negara komunis seperti
Uni Soviet.
Kemenangan kaum komunis dalam Revolusi Merah
Oktober 1917 telah mencemaskan AS.Sejak itu pula, AS merancang satu strategi
untuk menghancurkan Rusia.“Tanggal 8 Januari 1918, Presiden AS Woodrow Wilson
mengumumkan Program 14 Pasal.Dalam suatu komentar rahasia mengenai program ini,
Wilson mengakui jika usaha menghancurkan dan mencerai-beraikan Soviet Uni sudah
direncanakan.”.Dan kita tahu, baru pada tahun 1992 Soviet hancur.
Presiden AS Woodrow Wilson Rencana Wilson saat itu tidak bekerja dengan efektif disebabkan fokus kerja intelijen yang kurang, depresi besar 1930, dan Perang Dunia I dan II.Barulah usai Perang Dunia II AS sungguh-sungguh menyadari betapa Soviet harus dihadapi dengan serius.
Presiden AS Woodrow Wilson Rencana Wilson saat itu tidak bekerja dengan efektif disebabkan fokus kerja intelijen yang kurang, depresi besar 1930, dan Perang Dunia I dan II.Barulah usai Perang Dunia II AS sungguh-sungguh menyadari betapa Soviet harus dihadapi dengan serius.
Truman
Doctrine untuk mengepung penyebaran komunisme dikeluarkan pada 1947.Disusul
dengan Marshall Plan tahun berikutnya guna membangun kembali Eropa dari
puing-puing akibat PD II.Indonesia (istilah dulu “Hindia Belanda”) merupakan
satu-satunya wilayah koloni Eropa yang dicakup dalam rencana dasar Marshall
Plan.Akibatnya, bantuan keuangan AS kepada Belanda menyebabkan Den Hag mampu
untuk memperkuat genggamannya atas Indonesia.Belanda melancarkan embargo
ekonomi terhadap pemerintah RI yang berpusat di Yogya kala itu.
Bukan itu saja, Washington juga secara rahasia ikut membantu militer Belanda untuk menjajah kembali Indonesia.“Ketika tentara kerajaan Belanda kembali datang ke Jawa dan Sumatera pada musim semi 1946, banyak serdadu Belanda mengenakan seragam marinir AS dan mengendarai jeep Angkatan Darat AS.” Bahkan AS diyakini turut membantu Belanda dalam serangan militer Belanda II atas Yogya pada 18 Desember 1948
Bukan itu saja, Washington juga secara rahasia ikut membantu militer Belanda untuk menjajah kembali Indonesia.“Ketika tentara kerajaan Belanda kembali datang ke Jawa dan Sumatera pada musim semi 1946, banyak serdadu Belanda mengenakan seragam marinir AS dan mengendarai jeep Angkatan Darat AS.” Bahkan AS diyakini turut membantu Belanda dalam serangan militer Belanda II atas Yogya pada 18 Desember 1948
2.2 Keterlibatan Amerika Di Indonesia
Amerika banyak
terlibat dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari
berbagai peristiwa yang melibatkan negara Paman Sam tersebut.
2.2.1 Campur tangan Amerika dalam menumpas Pemberontakan Madiun 1948
Adalah konflik
senjata yang meletus di Solo, Jawa Tengah dan Madiun, Jawa Timur, pada 1948,
yang menyeret langsung AS untuk turun tangan. Sebagai bagian dari pengaruh
perang dingin antara dua kutub kekuatan dunia: AS di blok Barat dan US di blok
Timur, setelah merambah daratan Eropa, kemudian yang menjadi medan pertarungan
adalah kawasan Asia Tenggara.
Belanda,
Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat berusaha keras menguasai Asia Tenggara sehabis
Perang Dunia kedua. Tapi kebangkitan kekuatan rakyat, dan munculnya
Partai-Partai Komunis di Indocina, Malaya, Birma, Indonesia dan Filipina
merupakan tantangan berbahaya bagi kekuasaan pembela kolonialisme,” tulis Suar
Suroso, dalam bukunya Bung Karmo: Korban Perang Dingin banyak temuan baru yang
mengarah pada sebuah upaya kolaborasi antara pihak Barat dengan elit pemerintah
di dalam negeri pada waktu itu.
Adanya
konspirasi yang kemudian dikenal dengan sebutan “Pertemuan Sarangan” atau “Red
Drive Proposals.” Intinya, pada 21 Juli
1948 di Sarangan (daerah perbukitan di Utara Madiun, perbatasan Jawa Timur dan
Jawa Tengah), diadakan konferensi
rahasia yang dihadiri oleh Merle Cochran (wakil dari AS untuk Komisi Tiga
Negara), Hopkins (Penasehat Presiden Truman), serta dari Indonesia adalah Bung
Karno, Hatta, Sukiman, Natsir, Moh Rum dan Sukamto.
Maksud dari
pertemuan tersebut adalah upaya menyingkirkan kekuatan “kelompok kiri”. Ketika
itu, Muso, kader PKI yang lama hijrah ke Uni Soviet, juga telah tiba ke Tanah
Air dan mulai menarik simpati masyarakat untuk bergabung ke dalam PKI. Sayap
PKI pun saat itu meluas, seperti di Pesindo, Front Demokrasi Rakyat (FDR),
Partai Sosialis, Barisan Tani Indonesia (BTI) hingga Serikat Organisasi Buruh
Seluruh Indonesia (SOBSI). Kekuatan “kelompok kiri” ketika itu berkonsentrasi
di Solo (Gubernur Militer Wikana) dan Madiun (basis dari Pesindo).
Semenjak posisi
Perdana Menteri beralih dari Amir Sjarifuddin beralih ke Hatta, maka program
sapu bersih pun berjalan. Hatta, yang memberikan peluang besar bagi pihak Barat
– khususnya Amerika Serikat – untuk berunding, telah memberikan banyak
kelonggaran agar posisi Indonesia lebih cepat diakui secara internasional. Itu
sebabnya, dalam “Pertemuan Sarangan”, kabarnya, program “sapu bersih” untuk
“kelompok kiri” yang ditekankan oleh Amerika Serikat kepada Pemerintahan Hatta
disepakati.
Namanu bukti
otentik tentang isi dari “Pertemuan Sarangan”
belum dijumpai, tapi indikasi yang menguatkan adanya campurtangan AS
ketika sebelum meletus Peristiwa Solo-Madiun begitu nyata.
Bahwa Cochran
diberikan wewenang penuh untuk memainkan peran AS yang sesungguhnya dalam
membendung pengaruh komunisme internasional. Cochran, juga dibantu oleh Atase
Konsuler J. Camphell ketika di Indonesia, yang merupakan agen ruguler CIA
pertama bertugas di Indonesia. Cochran pun memiliki akses langsung ke Wakil
Menteri Luar Negeri AS Robert Lovett yang sangat berkuasa.
Alhasil,
setelah adanya kesepakatan antara AS dan Indonesia, keluarlah keputusan untuk
merampingkan tentara, yang disebut dengan Program Re-Ra (Reorganisasi dan
Rasionalisasi). Yang paling terpukul dari program ini adalah kesatuan dari
“Kelompok Kiri”, yang di masa itu pasukannya paling banyak dan lengkap
persenjataannya, yakni Pesindo di Madiun dan Divisi Panembahan Senopati di
Solo. Tiba-tiba lagi, awal Juli 1948, Komandan Divisi tersebut, Kolonel
Soetarto yang sangat dikagumi dan disegani oleh pasukan manapun, ditembak mati
tanpa diketahui pelakunya.
Mulanya Madiun
tidak terpancing. Lambat laun, pasukan dari Siliwangi yang telah masuk ke Solo,
pun mulai memasuki Madiun dan pecahlah
perang saudara.Presiden Soekarno turun tangan, dan menjatuhkan ultimatum tegas:
pilih dirinya atau Muso? “Kelompok Kiri” akhirnya dipihak yang kalah. Dan yang
paling tragis, pada tengah malam 19 Desember 1948, bekas Menteri Penerangan I
dan Perdana Menteri ke-2 RI, Amir Sjarifuddin beserta 10 pengikutnya,
dieksekusi mati oleh tentara Indonesia sendiri tanpa melalui proses peradilan.
2.2.2 Keterlibatan Amerika dalam Usaha Menumbangkan Presiden Soekarno
Perhatian AS
terhadap Indonesia sangat besar sejak sebelum Perang Dunia II disebabkan
letaknya yang sangat strategis dan kandungan kekayaan alamnya yang luar biasa.
Untuk itu AS pun membangun basecamp nya. Semua perkembangan global di atas telah dipelajari dengan
seksama oleh Presiden RI 1 yang sejak muda sudah menunjukkan kekritisannya.
Soekarno tahu jika negerinya ini menyimpan kekayaan alam yang luar biasa. Sebab
itu dia sungguh-sungguh paham jika suatu hari Indonesia akan mampu untuk tumbuh
menjadi sebuah negeri yang besar dan makmur. Sikap Soekarno inilah yang
membuatnya menentang segala bentuk Neo Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim)
di mana AS menjadi panglimanya.
Dalam
pandangan Soekarno, Soviet lebih bisa dipercaya ketimbang AS karena Soviet
belum pernah menjadi negara kolonial di luar negeri, sebaliknya Inggris dan
Perancis adalah bekas negara-negara kolonial yang bersekutu dengan AS. Atas
sikap keras kepala Soekarno yang tidak mau tunduk pada keinginan AS guna membentuk
Pan- Pacific untuk melawan kekuatan komunisme, dan di sisi lain juga berarti
menentang tunduk pada sistem kapitalisme yang merupakan induk dari kolonialisme
dan imperialisme di mana AS menjadi panglimanya, maka tidak ada jalan lain bagi
Amerika untuk menundukkan Soekarno kecuali MENYINGKIRKANNYA.
Presiden
Soekarno semakin bersemangat mengembangkan politik luar negeri bebas aktif dan
non blok, juga intens membina hubungan dengan negara-negara blok timur yang
merupakan musuh blok barat pimpinan AS. Ketika Soekarno diundang untuk
memberikan pidato di hadapan Kongres AS pada 1956, ia menyatakan bahwa
Indonesia berterimakasih atas bantuan AS. Namun ia juga menyatakan bahwa
kemerdekaan Indonesia tidak akan bisa digadaikan dengan suatu bantuan dari pihak
asing. Pernyataan ini tentu semakin membuat pihak AS antipati terhadap
Soekarno. Apalagi Soekarno pun tidak membendung pengaruh PKI di Indonesia.
Keadaan ini
membuat pemerintah AS berencana untuk melaksanakan suatu program untuk
membendung pengaruh komunisme di Indonesia. Presiden AS Dwight Eisenhower dan
Menlu AS John Fuster Dulles pun mempertimbangkan untuk menggunakan tenaga
Central Intelligence Agency (CIA), yang kebetulan diketuai oleh saudara John
Fuster Dulles, Allen Dulles, untuk melaksanakan suatu operasi rahasia guna
membendung pengaruh komunisme di Indonesia. Maka dimulailah keterlibatan CIA di
Indonesia.
Kebijakan
nasionalisasi ini muncul sebagai akibat dari ‘buntunya’ perjuangan
mengembalikan Irian Barat dari tangan Belanda ke pangkuan Republik
Indonesia (RI) melalui jalur diplomasi, pasca perjanjian konferensi meja
bundar (KMB) 1949. Pemerintahan Bung Karno memutuskan untuk
menghadapi Belanda dengan cara frontal, yakni membatalkan
perjanjian KMB secara sepihak.
Maka, di tahun
1956, kabinet Ali Sastroamidjojo II membatalkan perjanjian KMB dengan Belanda
secara unilateral.Organ-organ yang terkait dengan PNI (Partai Nasional
Indonesia) dan lainya, seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh
Indonesia) dan KBM (Kesatuan Buruh Marhaenis), menjadi pelopor dalam aksi-aksi
massa menuntut pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda dan asing
lainnya, sebagai bentuk resistensi terhadap eksistensi kolonial Belanda yang
belum terlikuidasi sepenuhnya di Republik ini.
Akhirnya,
pemerintah Bung Karno pun merespon keinginan massa rakyat tersebut.
Hasil rapat Kabinet Djuanda pada 28 November 1957 menghasilkan
beberapa keputusan penting terkait hal tersebut, antara lain: pemerintah
memutuskan untuk mendukung demonstrasi dan pengambillalihan beberapa perusahaan
Belanda. Disinilah terlihat sinergi antara pemerintahan Indonesia merdeka
dibawah pimpinan Bung Karno dan Djuanda dengan gerakan-gerakan rakyat
progresif yang disokong PNI dan PKI guna mengakhiri kekuasaan ekonomi Belanda.
Hal-hal semacam
inilah yang membuat Pemerintah Amerika Serikat menjadi gerah dan gemes terhadap
presiden pertama Indonesia, mereka tidak suka dan dengan planning tertentu
berusaha untuk memindahkan kedudukan Sukarno dengan orang lain yang tentunya
memihak dan mau menjadi penjilat telapak kaki Negara Paman Sam.
Soemitro dan
rekan-rekannya dengan berani menentang Bung Karno dan malah bergabung dengan
para pemberontak PRRI/PERMESTA yang didukung penuh CIA. November 1957, terjadi
percobaan pembunuhan terhadap Bung Karno yang dikenal dengan peristiwa Cikini.
Bung Karno selamat namun 9 orang tewas dan 45 orang disekelilingnya luka.
Pemerintah kala itu mendeteksi jika tindakan makar tersebut didalangi oleh
komplotan ektrem kanan yang dimotori Letkol Zulkifli Loebis, pendiri Badan
Rahasia Negara Indonesia (BraNI), cikal bakal BIN, dan didukung CIA. Dengan
tegas Bung Karno mengatakan jika CIA berada di belakang usaha-usaha pembunuhan
terhadap dirinya.Tudingan Bung Karno terbukti. Dalam satu sesi pertemuan Komite
Intelijen Senat AS yang diketuai Senator Frank Church dengan Richard Bissel
Jr—mantan wakil Direktur CIA bidang perencanaan operasi—22 tahun kemudian
terungkap jika saat itu nama Soekarno memang sudah masuk dalam target operasi
Direktur CIA, Allan Dulles.
2.2.3 Dukungan
Besar CIA Terhadap Pemberontakan PRRI/PERMESTA
Pada akhir
bulan Desember 1956 dan permulaan tahun 1957 terjadi pergolakan menentang
pemerintah Pusat, di Sumatera Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan
Sulawesi. Pergolakan ini dimulai dengan pembentukan “Dewan Banteng” di Sumatera
Barat tanggal 20 Desember 1956 dipimpin Letnan Kolonel Achmad Hussein. Tindakan
pertama dilakukan dengan mengambil alih pimpinan pemerintah Sumatera Barat dari
Gubernur Ruslan Muljohardjo. Dua hari kemudian, tanggal 22 Desember 1956 di
Medan (SumateraUtara) terbentuk “Dewan Gajah”, dipimpin Kolonel Maludin
Simbolon, yang menyatakanbahwa Sumatera Utara melepaskan diri untuk sementara
dari hubungan dengan pemerintahPusat. Bulan Januari 1957 “Dewan Garuda” mengambil
alih pemerintahan dari GubernurWinarno. Pada tanggal 2 Maret 1957 di Manado
diumumkan “Piagam Perjoangan Semester
(PERMESTA)” oleh Letnan Kolonel
Sumual, menentang pemerintah Pusat.
Tahun 1958
didirikan organisasi yang bernama Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara
Republik Indonesia yang diketuai oleh Letnan Kolonel Achamad Husein. Gerakan
Husein ini akhirnya mendirikan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia) yang berkedudukan di Bukittinggi dengan Syafruddin Prawiranegara
sebagai pejabat presiden.
Pecahnya
pemberontakan itu membuat AS bergembira. Menurut mereka, dengan adanya
pemerintahan tandingan tentu akan memuluskan niat AS untuk memberantas
komunisme di Indonesia, sebab dengan tergulingnya pemerintahan Soekarno oleh
para pemberontak maka pemerintahan yang pro komunis menurut mereka tidak akan
ada lagi. Oleh karena itu AS mendukung pemberontakan ini dengan mengirimkan
bantuan militer dalam jumlah besar. Bantuan ini berupa ribuan tentara angkatan
darat yang terlatih, kapal-kapal selam modern serta pesawat-pesawat pengebom
beserta pilotnya. Pesawat-pesawat pengebom ini sudah disanitasi
dokumen-dokumennya agar keterlibatan AS tidak ketahuan.
Dalam
operasi mendukung PRRI/PERMESTA, AS menurunkan kekuatan yang tidak main-main.
CIA menjadikan Singapura, Filipina (Pangkalan AS Subic & Clark), Taiwan,
dan Korea Selatan sebagai pos suplai dan pelatihan bagi pemberontak. Dari
Singapura, pejabat Konsulat AS yang berkedudukan di Medan, dengan intensif
berkoordinasi dengan Kol. Simbolon, Sumitro, dan Letkol Ventje Soemoeal.
Dalam
artikel berjudul “PRRI-PERMESTA, Pemberontakan Para Kolonel” yang ditulis
Santoso Purwoadi (Angkasa: Dirty War) dipaparkan jika pada malam hari, 7
Desember 1957, Panglima Operasi AL-AS Laksamana Arleigh Burke memerintahkan
Panglima Armada ke-7 (Pacific) Laksamana Felix Stump menggerakkan kekuatan
AL-AS yang berbasis di Teluk Subic untuk merapat ke Indonesia dengan kecepatan
penuh tanpa boleh berhenti di mana pun. Satu divisi pasukan elit AS, US-Marine,
di bawah pengawalan sejumlah kapal penjelajah dan kapal perusak disertakan
dalam misi tersebut. Dalih AS, pasukan itu untuk mengamankan instalasi
perusahaan minyak AS, Caltex, di Pekanbaru, Riau.
Kepada
para pemberontak, selain memberikan ribuan pucuk senjata api dan mesin, lengkap
dengan amunisi dan aneka granat, CIA juga mendrop sejumlah alat perang berat
seperti meriam artileri, truk-truk pengangkut pasukan, aneka jeep, pesawat
tempur dan pembom, dan sebagainya. Bahkan sejumlah pesawat tempur AU-Filipina
dan AU-Taiwan seperti pesawat F-51D Mustang, pengebom B-26 Invader, AT-11
Kansan, pesawat transport Beechcraft, pesawat amfibi PBY 5 Catalina dipinjamkan
CIA kepada pemberontak. Sebab itulah, pemberontak bisa memiliki angkatan
udaranya sendiri yang dinamakan AUREV (AU Revolusioner). Beberapa pilot pesawat
tempur tersebut bahkan dikendalikan sendiri oleh personil militer AS, Korea
Selatan, Taiwan, dan juga Filipina.
Pesan
rahasia CIA kepada para pimpinan PPRI agar sebelum mundur dari Riau mereka
meledakkan instalasi kilang minyak Caltex dulu, agar dua batalyon US Marine
yang sudah menunggu di perairan Dumai bisa mendarat dan menghantam pasukan
Yani, dan setelah itu berencana merangsek ke Jakarta guna menumbangkan
Soekarno, sama sekali tidak sempat dilakukan para pemberontak.
Seperti biasanya, awalnya pemerintah
AS membantah keterlibatannya dalam pemberontakan PRRI/PERMESTA. Namun sungguh
ironis, tidak sampai tiga pekan setelah Presiden Eisenhower menyatakan hal itu,
pada 18 Mei 1958, sebuah pesawat pengebom B-29 milik AS ditembak jatuh oleh sistem
penangkisserangan udara Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), Pilot tempur
pesawat tersebut, Allan Lawrence Pope, agen CIA yang sengaja ditugaskan
membantu pemberontakan guna menggulingkan Bung Karno.berhasil ditangkap
hidup-hidup.
Atas gertakan AS yang sampai
mengerahkan kekuatan dua batayon US Marine dengan Armada ke-7 nya ke perairan
Riau, Bung Karno sama sekali tidak gentar dan balik mengancam AS agar jangan
ikut campur terlalu jauh ke dalam masalah internal NKRI. “AS jangan bermain api
dengan Indonesia. Jangan sampai kekurangpahaman Amerika menyebabkan meletusnya
Perang Dunia Ketiga!”
Bung Karno segera mengirim satu
pasukan besar di bawah pimpinan Ahmad Yani untuk melibas para pemberontak di
Sumatera. Saat itu RRC telah menyiapkan skuadron udaranya serta ribuan tentara
regulernya untuk bergerak ke Indonesia guna membantu Soekarno memadamkan
pemberontakan yang didukung CIA tersebut, namun Bung Karno menolaknya.
“Kekuatan angkatan perang kami masih mampu menghadapi para pemberontak itu,”
ujarnya. Dan hal itu terbukti, hanya dalam hitungan jam setelah pasukan Ahmad
Yani mendarat di Pekanbaru, Padang, serta Bukit Tinggi—pusat konsentrasi para
pemberontak—maka kota-kota penting itu pun direbut tanpa perlawanan yang
berarti.
Bahkan pesan rahasia CIA kepada para
pimpinan pemberontak yakni sebelum mundur dari Riau mereka harus meledakkan
instalasi kilang minyak Caltex dulu, agar dua batalyon US Marine yang sudah
menunggu di perairan Dumai bisa mendarat dan menghantam pasukan Yani, dan
setelah itu berencana merangsek ke Jakarta guna menumbangkan Soekarno, ini sama
sekali tidak sempat dilakukan. Juni 1958, pemberontakan ini berhasil ditumpas.
Sumitro Djojohadikusumo dan sejumlah tokoh yang terlibat pemberontakan
meloloskan diri ke Singapura dan tahukah anda, dari ‘Basis Israel di Asia
Tenggara’ itulah, kelompok ini terus menggerogoti kekuasaan Bung Karno sampai
tumbang
Walau awalnya AS membantah
keterlibatannya, namun mantan Dubes AS Howard P. Jones mengakui jika dirinya
tahu jika CIA ada di belakang pemberontakan itu. Hal ini ditegaskan Jones dalam
memoarnya “Indonesia: The Possible Dream” (1990; h.145). Upaya CIA menumbangkan
Bung Karno selalu menemui kegagalan. Dari membuat film porno “Bung Karno”,
sampai dengan upaya pembunuhan dengan berbagai cara.
Hal ini menjadikan CIA harus bekerja
ekstra keras. Apalagi Bung Karno secara cerdik akhirnya membeli senjata dan
peralatan militer ke negara-negara Blok Timur dalam jumlah besar, setelah AS
menolak memberikan peralatan militernya. AS tentu tidak ingin Indonesia lebih
jauh bersahabat dengan Blok Timur. Sebab itu, setelah gagal mendukung
PRRI/PERMESTA, sikap AS jadi lebih lunak terhadap Indonesia. Namun walau di
permukaan AS tampak kian melunak, sesungguhnya AS tengah melancarkan ‘operasi
dua muka’ terhadap Indonesia. Di permukaan AS ingin terlihat memperbaharui
hubungannya dengan Bung Karno, namun diam-diam CIA masih bergerak untuk
menumbangkan Bung Karno dan menyiapkan satu pemerintah baru untuk Indonesia
yang mau tunduk pada kepentingan Amerika.
Di sisi lain, CIA juga menggarap
satu proyek membangun kelompok elit birokrat baru yang PRO BARAT yang kini
dikenal sebagai ‘Berkeley Mafia’. Sumitro dan Soedjatmoko merupakan tokoh
penting dalam kelompok ini. (untuk hal ini lebih lanjut silakan baca artikel
David Ransom: “Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia, Kuda Troya
Baru dari Universitas-Universitas di Amerika Serikat Masuk ke Indonesia”;
Ramparts; 1971).
Terbukanya Upeti Besar dari Asia
Tumbangnya Soekarno dan naiknya Jenderal Suharto disambut gembira pihak
Washington. Presiden AS Richard M. Nixon sendiri menyebut hal itu sebagai
“Terbukanya upeti besar dari Asia”. Indonesia memang laksana peti harta karun
yang berisi segala kekayaan alam yang luar biasa. Jika oleh Soekarno kunci peti
harta karun ini dijaga baik-baik bahkan dilindungi dengan segenap kekuatan yang
ada, maka oleh Jenderal Suharto, kunci peti harta karun ini justru digadaikan
dengan harga murah kepada Amerika Serikat. Apalagi di zaman pemerintahan SBY
saat ini.
Prosesi digadaikannya seluruh kekayaan
alam negeri ini kepada jaringan imperialisme dan kolonialisme Barat terjadi di
Swiss, November 1967. Jenderal Suharto mengirim sat tim ekonomi dipimpin Sultan
Hamengkubuwono IX dan Adam Malik. Tim yang kelak disebut sebagai Mafia
Berkeley, menemui para CEO korporasi multinasional yang dipimpin Rockefeller.
Dalam pertemuan inilah tanah Indonesia yang kaya raya dengan bahan tambang
dikapling-kapling seenaknya oleh mereka dan dibagikan kepada
korporasi-korporasi asing.
Freeport mendapat gunung emas di Irian
Barat, demikian pula yang lainnya. Bahkan landasan legal formal untuk
mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia pun dirancang di Swiss ini yang
kemudian dikenal sebagai UU Penanaman Modal Asing tahun 1967 (John Pilger; The
NewRulers of the World). Dan jangan lupa, semua CEO korporasi asing tersebut
dikuasai oleh jaringan Yahudi Internasional.
Sejak kegagalan mendukung
PRRI/PERMESTA, National Security Council (NSC) lewat CIA terus memantau
perkembangan situasi Indonesia secara intens. Sejumlah lembaga-lembaga sipil
dan militer AS juga sangat aktif menggodok orang-orang Indonesia yang
dipersiapkan duduk di kursi kekuasaan paska Soekarno. Orang yang dijadikan
penghubung antara CIA dan Suharto dalam hal ini adalah Adam Malik
Untuk membangun satu kelompok militer—terutama
Angkatan Darat—di Indonesia yang ‘baru’ (baca: pro Amerika), AS
menyelenggarakan pendidikan militer untuk para perwira Indonesia ini di Fort
Leavenworth, Fort Bragg, dan sebagainya. Pada masa antara 1958-1965 jumlah
perwira Indonesia yang mendapat pendidikan ini meningkat menjadi 4.000 orang.
(Suroso; 2008; h. 373). AS telah memanfaatkan para pejabat Indonesia PRO BARAT
ini untuk memuluskan kepentingannya. Bahkan Tim Werner dalam “Legacy of Ashes:
A History of CIA” (2007) menulis jika Adam Malik telah direkrut menjadi agen
CIA lewat pengakuan seorang mantan agen CIA bernama McAvoy. Walau yang terakhir
ini sempat jadi polemik, namun kedekatan Adam Malik—dan kawan-kawan-dengan para
pejabat AS saat itu adalah suatu fakta sejarah.
Dokumen yang membongkar keterlibatan CIA di dalam peristiwa Oktober
1965, yang pada akhirnya menjatuhkan Soekarno dan menaikkan Jenderal Suharto.
Atas nama pembersihan kaum komunis di negeri ini, CIA turut menyumbang daftar
nama kematian (The Dead List) yang berisi 5.000 nama tokoh dan kader PKI di
Indonesia kepada Jenderal Suharto. CIA memang memberi daftar target operasi
sejumlah 5.000 orang, namun fakta di lapangan jauh di atas angka itu. Kol.
Sarwo Edhie, Komandan RPKAD saat itu yang memimpin operasi pembersihan ini, terutama
di Jawa Tengah dan Timur, menyebut angka tiga juta orang yang berhasil
dihabisi. Bukan tokoh PKI saja yang dibunuh, namun juga orang-orang kecil yang
tidak tahu apa-apa yang menjadi korban politik kotor konspiratif antara CIA
dengan para ‘local army friend’.
2.2.4Ketelibatan Amerika
dalam Gerakan 30 September
Keterlibatan AS secara langsung
untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan penyingkiran Soekarno. Setidaknya ada dua kepentingan besar
AS di Indonesia saat itu. Pertama, AS berkepentingan mengubah haluan
politik luar negeri Indonesia saat itu, yang terang-terangan anti-kolonialis
dan anti-imperialis, agar kembali ke pangkuan barat. Kedua, menjaga
kepentingan ekonomi AS melalui perusahaan-perusahaannya yang beroperasi di Indonesia
dan, kalau memungkinkan, memperluasnya.
Untuk mencapai
dua misi itu, AS punya kepentingan untuk: satu, menghancurkan PKI. Sebab, PKI
merupakan kekuatan politik utama yang menentang kepentingan ekonomi-politik AS
di Indonesia; dua, menggulingkan Soekarno dan menciptakan rezim baru yang lebih
sejalan dengan kepentingan barat
Sebelum
peristiwa G30S 1965, AS sudah melakukan sejumlah aksi untuk membendung laju
komunisme, politik luar negeri non-blok, dan rencana-rencana pembangunan di
Indonesia. Salah satunya adalah keterlibatan AS dalam menyokong militer kanan
dalam pemberontakan PRRI/Permesta di tahun 1950-an.
AS juga
bekerjasama dengan sejumlah intelektual berorientasi barat di Indonesia, yang
kecewa dengan pembubaran Demokrasi Parlementer. Selain itu, pemerintah AS,
lembaga-lembaga kemanusiaannya, dan lembaga seperti Bank Dunia mencoba ‘merayu’
Soekarno untuk menerima bantuan militer, ekonomi, dan teknis.Harapan AS untuk
membawa Indonesia ke pangkuan barat benar-benar pupus begitu Soekarno melancarkan
konfrontasi terhadap Federasi Malaya (federasi bentukan Inggris). Di sisi lain,
politik luar negeri Indonesia makin merapat ke Cina.
Pada Agustus
1964, AS memulai operasi-operasi rahasia untuk menggulingkan Soekarno dan
memancing konflik yang tajam antara Angkatan Darat (AD) dan PKI. Saat itu,
pihak intelijen AS menyimpulkan bahwa kekusaan Presiden Soekarno mustahil
dilawan selama dia masih hidup, “kecuali, tentu saja, jika beberapa teman kita
ini mencoba menggulingkannya.”
Awal 1965, ada
peristiwa yang membuat AS dan barat makin tidak sabar untuk menghajar PKI dan
menggulingkan Soekarno. Pertama, keputusan Soekarno menarik Indonesia keluar
dari PBB. Kedua, para pekerja Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia
(SARBUPRI)–yang berada di bawah kendali PKI–untuk merebut perkebunan-perkebunan
yang dimiliki oleh US Rubber Company di Sumatera Utara.
Pada saat
bersamaan, Februari 1965, Presiden Soekarno, Waperdam III Soebandrio, dan
Menteri Perkebunan Frans Seda menyampaikan kepada perwakilan US Rubber Company
dan Goodyear, bahwa pemerintah (Indonesia) mengambil ‘kendali administratif’
atas perkebunan-perkebunan karet milik asing dan mendukung pengambilalihan
properti milik barat.
AS tentu gerah
dengan aksi-aksi tersebut. Karena itu, pejabat AS segera memperingatkan,
“Soekarno dan para komandan militer sudah kami beritahu, bahwa begitu terjadi
sesuatu yang mengisyaratkan adanya campur tangan terhadap kendali atas
Caltex….pengeboran minyak dari Indonesia akan dihentikan.” Ini ancaman yang
serius. Maklum, jika pengeboran minyak dihentikan, ekonomi Indonesia makin
lumpuh.
Pada Februari
1965, CIA mengusulkan untuk memperluas cakupan operasinya di Indonesia,
termasuk hubungan rahasia dengan kelompok-kelompok anti-komunis, black letter
operation, operasi media, termasuk kemungkinan aksi ‘radio hitam’ dan politik
hitam di dalam lembaga-lembaga politik di Indonesia.
Dari uraian AS
dan sekutunya memainkan peran besar dalam memprovokasi situasi di Indonesia.
Dugaan bahwa AS dan sekutunya turut bermain dalam isu “Dewan Jenderal” dan
“Dokumen Gillchrist” sangat mungkin terjadi. Provokasi-provokasi itu bermakna
dua hal: pertama, memancing pendukung Soekarno, termasuk PKI dan Angkatan
Bersenjata, untuk melancarkan operasi kontra-kudeta yang prematur; kedua,
mempertajam peruncingan antara sayap kiri (Soekarno, militer progressif dan
PKI) melawan sayap kanan (AD, Masyumi, PSI, dll).
Gerakan
prematur yang dilancarkan oleh sekelompok Angkatan Darat (AD) untuk
menggagalkan rencana kup Dewan Jenderal, yang ironisnya memperlihatkan Biro
Khusus PKI, merupakan momen yang paling ditunggu-tunggu oleh AD yang
anti-komunis dan sekutu internasionalnya (negara-negara kapitalis). Bahwa G30S
dijadikan dalih/justifikasi bagi Soeharto, AD, dan pendukung internasionalnya
untuk melakukan pembasmian terhadap PKI.
Begitu G30S
dipatahkan, tanggal 1 Oktober 1965, pejabat Washington tidak bisa
menyembunyikan kekhawatirannya terhadap kemungkinan AD tidak menggunakan
peluang itu untuk menumpas habis PKI. Kabel CIA tertanggal 17 Oktober 1965
menunjukkan: “CIA memperingatkan bahwa AD boleh jadi cukup puas dengan hanya
melakukan tindakan terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pembunuhan
Jenderal, dan membiarkan Soekarno memperoleh kembali sebagian besar
kekuasaannya.”
Telegram
Kedubes AS tanggal 5 Oktober 1965 mengatakan: “pemerintah AS, Inggris, dan
Australia berusaha membantu AD dengan menciptakan propaganda mengenai
kesalahan, penghianatan, dan kekejaman PKI dan tuduhan mengenai adanya kaitan
antara G30S dengan Cina.”
Tanggal 13
Oktober 1965, Menlu AS Dean Rusk menyimpulkan bahwa sudah tiba waktunya untuk
memberi isyarat pihak militer (Indonesia) mengenai sikap AS terhadap
perkembangan terkini. Menurut Rusk, bersedia dan tidaknya AD menuntaskan
aksinya terhadap PKI bergantung pada atau harus dipengaruhi AS.
Pada saat yang
sama, ajudan Jenderal Nasution mendekati Dubes AS untuk meminta bantuan
peralatan komunikasi portabel untuk keperluan panglima AD. Bantuan Kedubes itu
menandai penarikan pengakuan Washington terhadap Soekarno sebagai pemimpin
Indonesia yan sah. Artinya, Washington terang-terang memaksakan campur tangan
untuk mengganti pemerintahan sah di Indonesia.
Segera setelah
itu, mulai terdengar aksi-aksi pembantaian massal nan keji terhadap anggota dan
simpatisan PKI. Pada tanggal 4 Oktober, Kedubes AS melaporkan bahwa RPKAD di
daerah komando Jateng memberi pelatihan dan senjata kepada pemuda muslim. Di
sumatera utara dan Aceh, pemuda IPKI dan unsur-unsur anti-kom mulai dorongan
sistematis untuk menumpas PKI.
Yang menarik
dari ulasan Brad Simpson, Kedubes maupun Konsul AS di Indonesia menerima banyak
laporan tentang pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan PKI,
misalnya:Tanggal 13 November: kepala Informasi Polisi Kol Budi Juwono
melaporkan bahwa 50 sampai 100 anggota PKI di bunuh setiap malam di Jawa Timur
dan Jawa tengah oleh kelompok sipil anti-komunis atas restu AD.Tanggal 16
November: Pemuda Pancasila memberitahu Konsulat AS di Medan bahwa mereka
bermaksud membunuhi setiap orang PKI yang mereka jangkau.Bulan November:
missionaris memberitahu konsulat AS di Surabaya bahwa 15.000 komunis dibunuh di
daerah Tulungagung saja. Di Pasuruan, Jawa Timur, 2000 buruh pabrik
Nebritex–semuanya anggota SOBSI–dibunuh sejak akhir November.Di
perkebunan-perkebunan di Sumatera Utara, kelompok anti-komunis membantai
sedikitnya 3000 anggota PKI setiap minggu.
AS menanggapi
pembantaian massal itu dengan antusias. Malah mengintensifkan bantuan kepada
tentara dan kelompok anti-komunis. Yang paling menyedihkan adalah komentar
pejabat Deplu AS, Howard Federspiel: “Tak ada yang peduli jika mereka
disembelih, asalkan mereka komunis.”
Kesimpulannya pertama,
AS telah mengeksploitasi G30S sebagai justifikasi untuk menyingkirkan PKI;
kedua, AS terlibat dalam mendanai, mengoperasikan, dan mengintensifkan
pembantaian massal terhadap orang-orang PKI.
Telegram
Kedubes AS tanggal 2 November 1965 mengatakan, “negara-negara barat bersikeras
bahwa militer bukan hanya harus menghancurkan PKI, melainkan juga menyingkirkan
Soekarno dan pendukungnya.” Negara-negara barat khawatir, selama Soekarno masih
berkuasa, AD akan sulit untuk melakukan perubahan drastis di Indonesia sesuai
dengan harapan AS dan sekutunya. Untuk itu, pejabat AS mulai memikirkan untuk
bagaimana membantu AD menyingkirkan Soekarno.
Salah satu aksi
paling efektif yang dilancarkan AS dan sekutunya untuk menjatuhkan Soekarno,
adalah memperburuk situasi ekonomi Indonesia. Langkah yang menyerupai perang
ekonomi ini punya makna: 1) membuat pemerintah Soekarno terjepit dengan
mengarahkannya pada posisi kebangkrutan; 2) menciptakan ketidakpuasan populer
dikalangan rakyat terhadap situasi ekonomi yang memburuk.
Perang ekonomi
itu cukup efektif. Di awal 1966, ekonomi Indonesia di ujung keruntuhan. Ini
dipakai oleh AD dan mahasiswa kanan untuk mendesakkan aksi-aksi menuntut
penurunan harga dan mengeritik kegagalan ekonomi Soekarno.Yang paling ironis,
sekaligus benar-benar licik, adalah upaya mengalihkan sumber-sumber devisa
Indonesia, yang seharusnya masuk ke Bank Sentral, justru masuk ke kantong
Soeharto dan kelompoknya. Pada Februari 1966, Caltex tidak lagi membayar kepada
Bank Sentral Indonesia, melainkan kepada rekening tak bernama di Belanda.
Ironisnya, Menteri Perkebunan Frans Seda membuat aturan serupa terhadap
perusahaan perkebunan AS yang lain, seperti Goodyear, US Rubber, dll. Ini
membuat soekarno benar-benar terjepit.
Dengan situasi
ekonomi yang memburuk, ditambah aksi-aksi mahasiswa kanan yang disokong oleh AD
dan didanai AS/sekutunya, popularitas pemerintahan Soekarno merosot. Hingga
akhirnya kekuasaannya dicolong oleh Soeharto pada bulan Maret 1966.
Segera setelah
kendali kekuasaan sudah di tangan Soeharto/militer, AS dan sekutunya mulai
merancang transisi di indonesia, termasuk mendesakkan paket-paket ekonomi untuk
mengembalikan Indonesia sebagai ‘pejalan kapitalisme barat’. Pada tahun 1967,
disahkanlah UU Penanaman Modal Asing (PMA) yang sesuai dengan kehendak
negara-negara kapitalis barat. Lembaga-lembaga imperialis seperti IMF, Bank
Dunia, IGGI, dan LSM-LSM turun tangan untuk membantu Soeharto menata kekuasaannya
dan model ekonominya agar benar-benar terbuka bagi kepentingan barat.
2.2.5 Keterlibatan Amerika Serikat dalam
Lepasnya Timor Timur
Pada awalnya
Amerika mendukung integritas Timor Leste denganIndonesia hal ini disebabkan
bawah paham komunis akan menyebar disana sebab salah satu partai yaitu Fretilin
memiliki ideologi komunis. Hal inilah yang ditakutkan Amerika Serikat sebagai
musuh dari komunisme. Sehingga pengintegrasian dengan Indonesia dianggap akan
membendung ideologi tersebut. Ditakutkan jika Timor Timur menjadi negara
merdeka maka akan menjadi negara komunis.
Sikap Amerika
ini berlawanan dengan saat diadakan referendum di Timor Timur yang akan
melepaskan diri dari Indonesia. Amerika mendukung Timor Timur untuk merdeka dan
berdiri menjadi negara sendiri. Alasan Amerika adalah bahwa Timor Timur
memiliki ladang minyak yang cukup besar sehingga jika tetap masih di bawah NKRI
hal tersebut tidak dapat dimanfaatkan oleh Amerika dalam kepentinggan
ekonominya. Karena jika Timor Timur lepas dari Indonesia akan lebih mudah
dimanfaatkan oleh Amerika sebab Timor Timur baru menjadi negara baru dan SDMnya
yang cukup rendah.
Sebagai suatu
reaksi atas tekanan dunia internasional, organisasi internasional PBB
mengirimkan wakilnya dalam misi yang dinamakan UNAMET. Peran PBB dalam
menyelesaikan permasalahan yang ada di Timor-Leste sudah seharusnya dilihat
dari sudut pandang netral dan menyerahkan segala keputusan kepada rakyat
Timor-Leste, tetapi ternyata kenyataan dilapangan membuktikan bahwa ada
tindakan kecurangan dan keberpihakan UNAMET terhadap kelompok Anti-Intergrasi.
UNAMET sebagai perwakilan PBB secara khusus memfasilitasi proses referendum Timor
Timur agar berjalan secara adil dan representatif, tapi ternyata diluar dugaan
justru kinerja UNAMET sangat mengecewakan. Menurut Jubir UNIF Basilio Dias
Araujo, dalam siaran pers UNIF pada 30 Agustus 1999 menyatakan ada konspirasi
internasional yang menginginkankan Timor Timur lepas dari Indonesia. Mereka
meminjam tangan PBB lewat UNAMET-nya, dan berusaha keras dengan cara apa saja
untuk memenangkan kelompok Anti-Integrasi, termasuk dengan membiarkan berbagai
kecurangan yang terjadi . Keberpihakan UNAMET juga ditandai dengan banyaknya
staf lokal yang direkrut UNAMET yang merupakan pendukung Anti-Integrasi yaitu
sebanyak 95%. Tidak hanya sampai di situ, selama proses pelaksanaan referendum
juga terdapat banyak keberpihakan yang dilakukan oleh UNAMET secara
terang-terangan. Hampir di setiap TPS terjadi pelanggaran, banyak orang asing
yang dideportasi karena memprovokasi referendum, UNIF (Pro-Integrasi) juga
melaporkan 89 laporan pelanggaran selama referendum, hingga puncaknya pada 30
Agustus 1999 di seluruh Timor Timur terjadi gelombang protes kelompok
Pro-Integrasi yang kecewa. Mereka menyaksikan sendiri pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan oleh UNAMET beserta staf lokal selama pencoblosan berlangsung .
2.3 Hubungan Indonesia – Amerika pada Masa
Sekarang
Pada era saat ini Indonesia dan Amerika banyak menjalin kerjasama dalam
berbagai bidang.Hubungan bilateral ini memiliki berbagai manfaat bagi Indonesia
yang merupakan negara berkembang. Kerjasam itu antara lain :
Dalama bidang politik Perkembangan
penting hubungan bilateral RI – AS ditandai dengan kunjungan Presiden Barrack
Obama ke Indonesia pada tanggal 9 – 10 November 2010 dimana dalam kunjungan
tersebut, kedua Kepala Negara telah meluncurkan secara resmi Comprehensive
Partnership (CP) RI – AS. Sebelum CP
RI-AS resmi diluncurkan, pada tanggal 17 September 2010 telah dilaksanakan RI –
US Joint Commission Meeting (JCM) pertama di Washington.
Dalam bidang Hankam
Pasca pencabutan embargo militer tahun 2005, kerja sama pertahanan
Indonesia–AS semakin membaik berkat persepsi positif pemerintah, militer dan
parlemen AS terhadap proses reformasi TNI. Bantuan militer AS kepada Indonesia
disalurkan melalui program Foreign Military Financing (FMF) dan International
Military Education and Training (IMET), khususnya dalam rangka peningkatan
kemampuan transportasi TNI dalam penanganan bencana alam serta program
peningkatan profesional prajurit.
Kerjasama
dalam bidang
pembangunanSejak tahun 2006 Indonesia memperoleh bantuan hibah dalam
kerangka Millennium Challenge Corporation (MCC) sebesar US$ 55 juta untuk
program imunisasi dan anti korupsi. Pada bulan Desember 2008 Indonesia kembali
terpilih mendapatkan hibah serupa melalui program “MCC Compact Program (MCC
CP)” untuk periode hingga 2013. Program yang disepakati dalam MCC meliputi:
e-procurement, pendidikan dan kesehatan serta natural resources
management/REDD+.
BAB
III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Amerika sebagai negara adidaya di dunia
memiliki peranan dalam pembentukan negara Indonesia.Amerika sudah menaruh
perhatian kepada Indonesia setelah Perang Dunia II.Karena Indonesia telah
memiliki kakayaan alam dan letaknya yang starategis.Sebab itu, menjadikan Indonesia sebagai “wilayah yang bersahabat”
dipandang sangat penting bagi AS.
Amerika turut terlibat dalam masalah perpolitikan setelah Indonesia
merdeka.Hal ini dikarenakan Presiden pertama Indonesia yaitu Ir. Soekarno telah
dianggap condong ke Blok Timur yang merupakan musuh dari Amerika.Amerika
melakukan berbagai craa untuk dapat membundung ideologi ini akan menyebar
keseluruh Indonesia. Negara Indonesia adalah yang paling memiliki kekuatan pada
saat itu di Asia Tenggara sebab Indonesia negara yang sangat kaya dengan sumber
daya alam dan posisi Indonesia yang strategis di dunia.
Amerika terlibat dalam masalah perpolitikan
Indonesia terlihat setelah Indonesia merdeka yaitu terjadinya pemberontakan PKI
di Madiun.Amerika juga sangat menginginkan atau menyingkirkan Presiden Soekarno
karean telah dianggap condong ke Blok Barat.Hal ini membuat Amerika sangat
geram.Dalam upaya menggulingkan Presiden Soekarno Amerika turut terlibat dalam
pemberontakan PRRI/PERMESTA melalui CIA.Keterklibatan Amerika tidak berhenti
dalam hal itu saja namun dalam permasalahan pembebasan Irian Barat, Gerakan 30
September, dan lepasnya Timor Timur.
Daftar Pustaka
Anonim.1
Januari2012 http://votreesprit.wordpress.com/2012/01/01/terbongkarnya-jejak-cia-dibalik-sejarah-dan-pemberontakan-di-indonesia/ (Diakses 7 Mei 2014)
Anonim.02
Maret 2011.http://serbasejarah.wordpress.com/2011/03/20/cerita-amriki-di-prri-dan-cia-di-permesta/(Diakses 7 Mei 2014)
Anonim.
Maret 2011 http://warofweekly.blogspot.com/2011/03/inilah-yang-membuat-belanda-angkat-kaki.html(Diakses 7 Mei 2014)
http://yasirmaster.blogspot.com/2012/03/intervensi-amerika-serikat-dalam.html(Diakses 7 Mei 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar